Selamat menyambut bulan Juli!
Sebagai pembuka pertengahan tahun ini ada teman kita Avianto Nugroho yang akan membagikan ceritanya selama kuliah di Christian-Albrechts-Universität zu Kiel untuk program Master of Science in Environmental Management. Katanya kuliah di luar negeri itu tidak seindah dalam film Ayat-Ayat Cinta 2 lho! Ups, baca aja selengkapnya di bawah ini ya 🙂
Kesan:
Moin, hallo Leute! Tulisan ini terasa seperti teman dekat yang lama tak jumpa, yang meminta saya untuk mengulang cerita tentang perjalanan hidup yang tak sempat tersampaikan, khususnya di tanah rantau ini.
Saya tinggal di Kiel, sekitar 7.450 mil dari Bandung (kota yang selalu melibatkan perasaan itu). Sempat ada banyak pilihan kota di berbagai negara yang bisa saya tuju untuk studi lanjut saya, namun, saya memilih Kiel karena satu alasan yang bisa dibilang ‘sok’ tapi mungkin juga tepat, yaitu: saya ingin kuliah di tempat yang jauh dari Indonesia dan tidak banyak bahkan hampir tidak ada orang Indonesia (silakan nyinyir, netizen mah bebas). Tujuannya? Saya ingin menjadi pribadi yang mandiri, mencari pengalaman baru yang dilakukan sendiri, dan yang paling klasik, supaya sensasi kuliah di luar negerinya lebih bisa diresapi.
Tapi, jangan sekali-kali mengaku beriman kalau tidak diuji dan jangan lupa bahwa setiap yang dikatakan pasti diminta pertanggungjawabannya. Rupanya diam-diam doa rahasia saya telah diijabah oleh Sang Mahatahu segala isi hati.
Sesampainya di utara Jerman, saya diperlihatkan bahwa keinginan memang sungguh-sungguh bisa menjadi kenyataan, seringkali melebihi apa yang dibayangkan, contohnya: saya disambut hangat oleh early winter, diajari bahasa baru yang kadang satu kata butuh kerja kolektif antara tenggorokan, lidah, dan bibir dalam pelafalannya, dan yang paling spesial adalah ketika dijemput mobil berwarna orange yang selalu mendapat prioritas khusus di jalan raya (baca: ambulan) saat saya harus mengalami operasi bedah mulut. Kesan pertama tak semanis gambaran yang biasa disuguhkan di feed pelajar-pelajar luar negeri, ini pahit. Saya hanya bisa menguatkan keyakinan bahwa yang pahit seringkali menyembuhkan hingga semuanya menjadi lebih baik, seperti obat. Kemudian, saat sakit sebaiknya kita barobat dahulu, baru berbicara tentang hikmah.
Sudah lewat dua musim semi saya berkuliah di Christian-Albrechts-Universität zu Kiel, di School of Sustainability jurusan M.Sc Enviromental Management. Bisa ditebak dengan mudah, saya disini belajar tentang lingkungan. Yang sedikit sulit diterima yaitu ketika disandingkan kata sustainability-nya, yang kadang membuat saya mikir “keren sih, tapi gak segitunya juga kali“. Satu kata itu membuat para Aa dan Teteh blonde di jurusan saya menjadi atentif, inovatif, bahkan kelewat protektif soal lingkungan. Sampai saat ini saya masih kagum kalau ingat teman project saya yang rela muter balik mobil yang sudah jalan lumayan jauh untuk balik ke lokasi sampling cuma buat mungut secuil robekan sarung tangan berbahan karet yang lupa dia bawa buat dibuang ke tempat sampah. Dia takut kalau robekan barusan dimakan burung terus burungnya mati karena ada bahan yang sulit terurai di pencernaannya. Saya melting dengernya. Yang agak annoying yaitu kalau teman-teman saya mempermasalahkan mandi setiap hari dengan sustainable water management. Kita gak care sama lingkungan katanya kalau keseringan mandi.
Ini soal kebebasan berpikir dan berekspresi. Tapi semakin kita mencari kebebasan, sebenarnya kita semakin dikekang oleh pertanyaan di mana letak benar atau salahnya. Maka dari itu dalam situasi seperti ini sebaiknya kita selalu punya tempat untuk berpikir sejenak dan kembali (baca: agama). Supaya putihnya kebenaran tidak tercampur aduk dengan hitamnya kekeliruan hingga menghasilkan kebingungan yang abu-abu.
Pesan:
Kita selalu berkeyakinan bahwa penerima beasiswa adalah mereka yang memiliki segudang prestasi. Ya, memang benar dan demikian adanya. Dalam ilmu statistik, saya mungkin masuk ke dalam kategori data error karena berbeda dari mayoritas populasi. Saya dulu lebih sering hadir di musyawarah kios daripada di majelis ilmu. Kelompok remaja kios dan kelompok ilmiah remaja sama-sama sepenuh hati ingin membela nama baik sekolah, bedanya hanya di caranya, kelompok yang satu seringkali menggunakan kekuatan otot dan yang satu lagi murni menggunakan kecerdasan otak. Niat kami sama, namun seringkali diapresiasi berbeda secara sosial dan normatif.
Topik tesis yang lagi saya tulis yaitu tentang Marine Spatial Planning di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Jerman di North Sea. Bahasan tesisnya adalah mengenai pengelolaan macam-macam kegiatan di laut supaya bisa berjalan berkelanjutan dan tanpa menimbulkan konflik berkepanjangan. Di sini saya meneliti mengenai ruang aktivitas perikanan yang menjadi terbatasi dan metode berkativitasnya harus diubah karena pesatnya pengembangan energi terbarukan (wind farm). Solusi dan hasil akhirnya ternyata sama-sama menguntungkan dan yang terpenting yaitu ramah lingkungan.
Ternyata dari topik tesis tersebut, saya tidak hanya belajar mengenai ilmu kelautan, tapi juga ilmu kehidupan. Ketika sesuatu yang baru banyak bermunculan, saat keyakinan yang kita anggap benar harus dibenturkan, hingga banyak perubahan-perubahan yang tak bisa lagi terelakkan, maka cara kita bertahan adalah dengan juga memperbaharui diri kita, bukan mengutuk keadaan. Saya yang besar di lingkungan berprinsip let it flow, kini harus terbiasa berdiskusi membicarakan flowchart berjam-jam yang di ujung alurnya sering membuat saya lagi-lagi harus mengakui kebodohan. Tidak seindah cerita Fahri di Ayat-Ayat Cinta 2 yang kehidupan kampusnya bikin persepsi tentang kuliah di luar negeri sering meleset.
Buat dedek-dedek gemes yang sering iri ke penerima beasiswa ke luar negeri, semoga diberi kelancaran dan rizki untuk bisa mendapat beasiswa serupa. Supaya bisa mendapat pengalaman yang sama dan yang terpenting agar setelahnya lebih bijak sebelum menilai. Sudahlah, selama masih lebih banyak waktu yang kita alokasikan untuk aktualisasi diri di media sosial daripada memperbarui ilmu dan menambah pemahaman, tidak usah mengajak berdebat orang-orang yang sama sekali tidak kita kenal dengan baik.
Di lingkup yang lebih luas, orang-orang sudah disibukkan berpikir mengenai teknologi penunjang kehidupan untuk 20 tahun yang akan datang, bukan lagi mengomentari “cantik kak, apalagi kalau berhijab“. Di luar sana banyak orang yang lebih banyak diam, tapi sekalinya berbicara, mereka berbicara prinsip. Tidak sedikit juga orang-orang yang kita mention karena kita ragukan kemampuannya, mereka retweet dengan rangkaian prestasi yang membuat character limit di Twitter menjadi minus. Lalu dimana posisi kita? Bagai menepuk air di dulang, lalu terciprat ke wajah sendiri.
Beratnya ilmu akan membuat kita semakin merunduk dan dalamnya pemahaman akan membuat kita tenggelam dalam kerendahan hati.
Bagian pesan ini khusus saya tulis untuk diri saya sendiri. Tidak perlu dibaca.
Barakallah.
Jika ingin berkenalan lebih jauh dengan Anto bisa disapa langsung di:
Facebook: Avianto Nugroho
Instagram: @instavianto