Konversi Nilai, IPK, dari Sistem Indonesia ke Jerman dan Sebaliknya

Oleh: Leo Yulyardi

Sistem penilain di Jerman menggunakan 5 angka (ada beberapa yang 6) dimana nilai paling bagus adalah 1 dan nilai yang paling jelek adalah 5, untuk mengevaluasi performa pelajarnya:

  • 1 yang artinya sehr gut atau sangat baik, adalah nilai tertinggi yang bisa diraih dan dikategorikan sebagai ruarrrr biasa
  • 2 yang artinya gut atau baik adalah yang tertinggi kedua yang diatas rata-rata dan juga memenuhi standar minimum
  • 3 yang artinya befriedigend atau peforma rata-rata atau standar aja
  • 4 yang artinya ausreichend atau cukup adalah nilai paling jelek yang bisa didapat tapi tetap lulus subject tersebut
  • 5 yang artinya mangelhaft yang jelas artinya setelah nomor 4, gagal atau wajib ngulang

Terkadang yang banyak orang bingung adalah bagaimana konversi nilai ijazah kita kalo kita mau S2 di Jerman tapi S1 nya dari Indonesia negara lain yang mempunyai sistem penilaian skala 4 dimana 1 adalah terburuk dan 4 adalah terbaik yang bisa didapat? Ada berbagai macam metoda konversi menurut berbagai macam sumber yang mulai dari sangat mengeneralisir sampai dengan yang spesifik berlaku di universitas.

Berikut ini adalah salah satu sistem konversi nilai menurut www.wes.org,

Kalo kita liat sistem penilaian diatas, kita bisa dengan mudah nebak bahwa IPK 3 sistem di Indonesia ataupun negara lain yang make sistem dengan skala 4, itu sama dengan 2.5. Tapi sistem konversi penilaian ini sangat mengeneralisir dan gak ngasih gambaran yang lebih exact kalau ada nilai didalam rentang tersebut.

Universitas di Indonesia, yang saya tau UGM memberikan equivalensi nilai seperti dibawah ini:

No

Nilai MM UGM

1

1,0 s/d 1,5

A

2

1,6 s/d 2,3

A-

3

2,4 s/d 2,9

B+

4

3,0 s/d 3,5

B

5 3,6 s/d 4,0

C

6 4,1 s/d 5,0

gagal

Sumber : www.mmugm.ac.id

Equivalensi nilai tersebut adalah konversi nilai dari Universitas di Indonesia. Jadi kita bisa sedikitnya yakin, kalo nilai kita di Jerman itu setara atau ‘dihargai’ berapa oleh univ di Indonesia. Cukup baik konversinya, malah kebaikan..hehe..

Sebagai penerima beasiswa LPDP, pada akhir studi kita harus memberikan transcriipt kita dengan nilai yang penyetaraanya dilakukan oleh http://www.foreigncredits.com/Resources/Grade-Conversion/ . Teman saya yang udah lulus diminta penyetaraan nilainya oleh LPDP dengan website ini. Berikut tampilan hasil penyetaraandengan sistem pada website tersebut:

Untuk sistem konversi nilai dari Indonesia untuk diakui ke sistem Jerman, kalo di univ tempat saya belajar, RWTH Aachen, saya taunya mereka pakai konversi dengan rumus bavaria. Kabarnya hampir semua univ di negara bagian NRW dan Bavaria memakai sistem ini, dan juga banyak digunakan di negara bagian lain di Jerman.

Rumusnya adalah:

Dimana Nmax adalah nilai maximum yang kita bisa raih di sistem kita, Nd adalah nilai rata-rata kita yang mau dikonversi, Nmin adalah nilai minimum yang masih lulus dalam sistem nilai kita. Untuk sistem di Indonesia, Nmax itu sama dengan 4 dan Nmin adalah 2. Jadi kalo kita mau IPK kita yang contohnya nilainya 3, maka dalam sistem Jerman nilai itu adalah 2.5. Untuk lanjut S2 di Jerman biasanya mereka minta standar minimalnya adalah 2.5. Banyak beasiswa yang menyaratkan agar kita mempunyai IPK minimal 3 untuk lanjut S2 dan IPK minimal 3.25 untuk lanjut S3. Nah kalo lembaga beasiswanya itu dari Indonesia dan nilai S1 atau S2 kita dari Jerman biasanya mereka akan mengacu ke sistem konversi yang lazim dipake di Indonesia seperti 3 sistem konversi yang sebelumnya. Tapi kalo kita mau lanjut ke jerman dan nilai kita dalam sistem skala 4 seperti di Indonesia, Univ di Jerman biasanya akan make rumus Bavaria ini untuk mengkonversinya.

Kesimpulannya, kalo mau apply ke Univ di Jerman dengan nilai dari Univ di Indonesia dan ingin tau equivalensi nilai, rumus Bavaria saya rasa jauh lebih realistis. Tapi kalo mau menyetarakan nilai dari Univ di Jerman ke sistem nilai di Indonesia, tiga sistem konversi di awal tadi lebih lazim dipakai dan tentunya lebih ‘menguntungkan’ si pemegang nilai dari Jerman.

Nah sekedar perbandingan nilai di Jerman dengan negara lain, ada juga yang menyarankan menggunakan sistem konversi seperti dibawah ini:

 

Lapor (Registrasi) Diri ke Konsulat RI untuk Menghindari Hal-Hal yang Tak Diingini

“WNI yang berada di luar negeri wajib melaporkan keberadaan, kepindahan, perubahan alamat, status izin tinggal, dan kejadian penting lainnya (seperti kelahiran, perkawinan, perceraian, maupun kematian) kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara setempat.”

Tulisan di atas tertera jelas di website resmi Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Frankfurt Am Main. Ini artinya setiap Warga Negara Indonesia (WNI) yang sedang berada di Jerman diharuskan melaporkan keberadaannya kepada perwakilan negara di Jerman. Tidak jauh beda dengan konsep lapor diri di kampung kita. Bagi warga kampung yang pindah rumah dari satu RT ke RT lain, diharapkan lapor dalam 2 kali 24 jam ke ketua RT setempat.

Tujuan dari proses lapor diri sangat jelas agar keberadaan kita diketahui oleh perwakilan negara kita tercinta sehingga jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan (semoga tidak pernah terjadi apa-apa) dapat diselesaikan dengan baik oleh bapak/ibu perwakilan negara. Selain itu, kita juga bisa meminta bantuan perwakilan negara untuk mengurus dokumen konsuler/imigrasi seperti penggantian paspor, surat keterangan status pernikahan, surat keterangan kelahiran, surat keterangan pulang habis ke Indonesia, dan lain-lain. Satu lagi, bagi Dosen Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sedang tugas belajar di luar negeri, lapor diri merupakan langkah awal untuk mendapatkan penilaian prestasi akademik untuk mengisi Sasaran Kerja Pegawai (SKP). SKP ini merupakan salah satu syarat kenaikan pangkat/jabatan fungsional. Jadi, lapor (registrasi) diri itu SANGAT PENTING kan?

 Berhubung saya kuliah di RWTH-Aachen yang masih dalam wilayahnya NRW (North Rhein Westphalia) maka saya harus melaporkan diri ke KJRI Frankurt am Main. Proses lapor diri dapat dilakukan dengan 2 cara, datang langsung ke Kantor KJRI Frankfurt am Main di Zeppelinallee 23, 60325 Frankfurt am Main atau bisa melalui pos ke alamat tersebut. Aachen – Frankurt tidak begitu jauh, tapi tetap butuh waktu apalagi proses lapor diri hanya bisa dilakukan pada hari di saat saya harus ke Institut (saat hari kerja), makanya saya memilih opsi kedua. Selain itu opsi kedua ini juga dapat menghemat biaya transportasi dan akomodasi. Ada satu lagi cara, biasanya saat ada acara yang berhubungan dengan KJRI, misalkan pada saat acara ONE DAY INDONESIA di Dortmund tanggal 28 Maret 2015, di situ pihak KJRI Frankfurt mengadakan warung konsuler dengan menu utama pelayanan registrasi/lapor diri.

Adapun dokumen-dokumen yang dibutuhkan saat lapor diri (sesuai di website KJRI):

  1. Paspor asli
  2. Formulir Lapor diri yang telah diisi lengkap dan ditandatangani pemohon (bisa didownload di sini)
  3. 2 (dua) lembar pasfoto terbaru (maksimal 3 (tiga) bulan) ukuran 4×6 dengan latar belakang bebas,
  4. Fotokopi visa dan/atau izin tinggal (Aufenthaltsbescheinigung/Aufenthaltstitel) di Jerman yang masih berlaku (izin tinggal asli diperlihatkan kepada petugas),
  5. Fotokopi halaman-halaman Paspor yang berisi data diri, tanda tangan pejabat dan halaman lain yang telah digunakan,
  6. Fotokopi surat registrasi tempat tinggal (Meldebestätigung),
  7. Fotokopi Akta Kelahiran (Geburtsurkunde),
  8. Fotokopi surat/akta perceraian bagi yang telah bercerai,
  9. Fotokopi surat keterangan/kartu pelajar/mahasiswa (Studentenbescheinigung) dari Universitas/Sekolah bagi mahasiswa/pelajar yang belajar,
  10. Fotokopi Surat Keterangan Bekerja (Arbeitsbescheinigung) bagi yang bekerja,
  11. Fotokopi Surat Keterangan Pindah ke Luar Negeri (bila ada), dan
  12. Bila registrasi diri yang telah jadi akan dikirimkan kembali melalui jasa pos, harap sertakan amplop balasan beralamat lengkap dan perangko secukupnya (sebaiknya tercatat/einscreiben).

Bagi yang menggunakan paspor dinas, selain dokumen-dokumen di atas harus juga melampirkan Fotokopi Surat Tugas Keterangan Tugas dari Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia dan Fotokopi Surat Keterangan Tugas dari Instansi asal.

Sekali lagi, jangan lupa menyertakan amplop balasan lengkap dengan alamat rumah dan perangko balasan. Kalau bisa langsung saja ke kantor pos, minta ke petugasnya bahwa perangko yang kita butuhkan pada amplop balasan adalah yang tercatat (einscreiben). Amplop balasan tidak harus sebesar amplop hvs karena surat keterangan bahwa kita telah lapor diri ditempelkan pada bagian belakang paspor seperti ini:

Keterangan telah melapor diri ke KJRI
Keterangan telah melapor diri ke KJRI

 

Selamat melaporkan diri ke konsulat RI untuk menghindari hal-hal yang tak diingini.

Penulis : Dedi Rosa Putra Cupu (LPDP-Jerman Awardee, S3 RWTH-Aachen University)

Menghubungi Beberapa Profesor vs Menghubungi Hanya 1 Profesor (Langkah Awal Mendapatkan LoA di RWTH-Aachen)

 

„apa kalian tidak ingin menginjak tanah selain tanah yang kalian injak sekarang?“

(BASO, DALAM FILM NEGERI LIMA MENARA)


Mendapatkan invitation letter ataupun persetujuan dari seorang profesor sebagai supervisor kita merupakan salah satu syarat untuk menempuh pendidikan doktor (S3) di beberapa universitas di Jerman termasuk di RWTH-Aachen University. Invitation Lettertersebut menjadi kunci awal untuk mendaftar di universitas, tentu saja dibarengi dengan dokumen-dokumen lain seperti sertifikat bahasa asing (IELTS/TOEFL), ijazah dan transkrip nilai S1 dan S2 versi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (lebih bagus lagi kalau punya yang versi bahasa Jerman). Dengan adanya invitation lettertersebut (dan pertimbangan lain seperti Indeks Prestasi Kumulatif (IPk) S2, IELTS/TOEFL, dan lain-lain), pihak Universitas akan mengeluarkan Unconditional Letter of Acceptance (LoA). LoA inilah yang akan digunakan sebagai syarat mendapatkan beasiswa dari pemerintah Indonesia (DIKTI ataupun LPDP) ataupun dari lembaga lain seperti DAAD.

Membaca kisah mereka-mereka yang lebih dahulu menempuh pendidikan di tingkat doktor, dan mendengarkan cerita kawan-kawan yang sedang menempuh S3 di beberapa universitas luar negeri, mereka rata-rata menghubungi beberapa profesor di beberapa universitas dalam rentang waktu yang relatif sama, berharap dari beberapa profesor tersebut memberikan respons terhadap email yang dikirimkan. Seumpama memancing, dengan menyebarkan umpan yang banyak pada beberapa sungai, peluang untuk mendapatkan ikan jauh lebih besar dibandingkan dengan hanya melemparkan satu umpan di satu sungai.

Beda orang, tentulah beda konsep pemikirannya. Demikian juga dengan saya dalam hal mendapatkan invitation letter. Bagi saya, lebih baik fokus menghubungi satu profesor daripada harus berbagi konsentrasi menghubungi beberapa profesor. Apalagi, saya juga harus fokus dengan kegiatan Tridarma Perguruan Tinggi karena saya adalah dosen aktif di Jurusan Teknik Mesin Universitas Riau. Tentu saja saya harus mengetahui terlebih dahulu tentang si profesor secara detail sebelum menghubunginya. “Ibarat membeli kucing dalam karung”, pepatah ini yang saya coba hindari. Makanya prof yang saya tuju harus benar-benar saya pahami terlebih dahulu. Pertimbangan utama saya adalah bahwa riset yang akan saya lakukan selama S3 harus sesuai dengan riset yang sedang atau akan dikembangkan oleh si profesor, hal ini dapat dilihat dari CV si profesor dan riset yang sedang dilakukan di institutnya. Selain itu, kelengkapan alat uji yang ada di institut juga menjadi pertimbangan saya karena hal ini tentu akan berpengaruh pada saat saya menjalankan riset nantinya. Setelah memastikan bahwa si profesor „pantas“ menjadi supervisor saya, kemudian saya menghubungi beliau melalui email. Di email pertama, sebagai cover letter, selain mengenalkan diri secara ringkas tentang saya sesuai dengan CV yang saya lampirkan dan riset master yang telah saya lakukan, saya juga nyatakan bahwa saya berminat dengan salah satu research project yang ada di institut beliau. Informasi tentang IME (Institute of Machine Elements and Machine Design) RWTH-Aachen dapat dilihat di www.ime.rwth-aachen.de. Setelah beberapa kali “PING” akhirnya saya dapat balasan email dari si profesor. Jawabannya sangat sederhana :

Jawaban yang ditunggu-tunggu dari si profesor
Jawaban yang ditunggu-tunggu dari si profesor

Yup, umpan pancingan saya telah dimakan si profesor. Selanjutnya sudah dapat ditebak endingnya, dengan sedikit rayuan dan penjelasan bahwa pemerintah Indonesia punya program beasiswa untuk dosen yang memenuhi beberapa persyaratan tertentu, akhirnya luluh juga hati si prof untuk mengirimkan Invitation Letter ke alamat rumah di Pekanbaru.

 invitation letter

Secara ringkas berikut tahapan-tahapan yang saya lakukan dalam mendapatkan LoA dari RWTH-Aachen University:

1 daftar nama prof

Pada daftar tersebut saya juga menuliskan dan mempelajari beberapa publikasi ilmiah (jurnal) si profesor. Tidak lupa detail tentang project yang sedang dikerjakan serta kelengkapan alat uji yang akan saya gunakan untuk penelitian S3 nantinya.

2 memilih profesor terbaik

Dari daftar yang saya buat, saya memutuskan untuk memilih profesor di Institut Machine Elements and Machine Design (IME), RWTH-Aachen University. Pertimbangan utama saya adalah saya membaca di websitenya bahwa profesor sedang menjalankan project yang berhubungan dengan master thesis saya dan di institut ini mempunyai salah satu alat uji yang memang saya butuhkan untuk kesempurnaan penelitian yang telah saya lakukan sebelumnya.

3

Seperti yang saya tuliskan sebelumnya, dari awal saya sudah fokuskan hanya akan mengirim email ke satu profesor saja. Tujuan utamanya supaya bisa fokus „mengejar“ invitation letter dari si profesor dan tidak memberikan „harapan palsu“ kepada profesor-profesor yang lain. Jika kelak profesor tersebut menolak „pinangan“ saya, di saat itulah saya akan beralih ke profesor yang lain.

Pada saat menulis email ke profesor, saya memastikan apakah di cover lettertersebut saya telah “menjual diri” dengan menampilkan beberapa „keunggulan“ saya seperti:

  1. Riset yang telah saya kerjakan pada saat S2 akan jauh bermanfaat bagi dunia industri jika dilanjutkan dengan menambahkan beberapa parameter serta divalidasi dengan pengujian di mana alat ujinya tersedia di institut si prof.
  2. Beberapa publikasi ilmiah internasional yang saya hasilkan beserta link ke jurnal tersebut.

4

Beberapa hari setelah email pertama, saya mengirim ulang pesan tersebut ke profesor dengan tujuan beliau akan membalas email tadi. Selain itu, saya juga meneruskan pesan saya kepada sekretaris si profesor dan memintanya untuk menyampaikan email saya ke si profesor. Hal ini mungkin sedikit kurang sopan, tapi, namanya juga usaha, tidak ada masalah (menurut saya). Dan ini terbukti ampuh, dua hari setelah saya mengirim ulang pesan tersebut (saya mengirim ulang tanggal 3 Desember 2012), dan pada tanggal 5 Desember 2012 si profesor membalas email dengan pernyataan yang sedikit memberikan peluang bagi saya untuk mendapatkan Invitation Letter. Setelah beberapa kali berbalas email, akhirnya saya mendapatkan surat sakti dari profesor yang menyatakan beliau bersedia menjadi supervisor saya untuk mengarungi dunia perdoktoran di kampus RWTH-Aachen. Alhamdulillah.

5

Langkah selanjutnya adalah mendaftar secara online pada website kampus. Sebelumnya saya memastikan bahwa dokumen-dokumen yang dibutuhkan sudah dalam bentuk soft copy. Selesai pendaftaran secara online, pihak kampus juga meminta saya untuk mengirimkan berkas secara manual (via pos). Di sini saya bingung, mengingat waktu yang sempit plus biaya yang lumayan mahal (menurut saya), akhirnya saya menghubungi pihakInternational Office kampus dan menjelaskan bahwa saya belum bisa mengirimkan dokumen-dokumen tersebut dalam waktu dekat. Negosiasi yang sedikit alot menghasilkan kesimpulan, saya diizinkan untuk membawa langsung dokumen tersebut sesampainya saya di Aachen. Alhamdulillah, dan pihak kampus pun bersedia mengeluarkan Unconditional Letter of Acceptance (LoA) yang memang saya butuhkan untuk berburu beasiswa.

 

Unconditional Letter of Acceptance (LoA)
Unconditional Letter of Acceptance (LoA)

7 November 2013, jam 09.00 waktu Jerman, setelah melalui proses daftar ulang sebagai mahasiswa PhD di RWTH-Aachen, akhirnya saya resmi menjadiResearch Scientist di Institute of Machine Elements and Machine Design (IME). Profile saya bisa dilihat di sini.

Jika boleh memberikan sedikit saran untuk yang lagi memburu LoA:

1. Tidak ada salahnya mengirimkan email beberapa kali ke profesor yang sama untuk memastikan beliau telah membaca cover letter yang telah kita kirimkan.

2. Salah satu kendala profesor memilih kita sebagai mahasiswanya adalah beasiswa (financial support). Terus terang saja bahwa pemerintah kita punya banyak dana yang siap membiayai kuliah sampai selesai.

3. Menghubungi seorang profesor atau beberapa profesor dalam waktu yang bersamaan merupakan pilihan, silahkan memilih mana yang terbaik sesuai situasi dan kondisi kita saat ini.

4. Jangan lupa berdoa setelah semua usaha yang kita lakukan telah maksimal.

Semoga sukses buat kawan-kawan yang berburu LoA. Saya tunggu di RWTH-Aachen University.

Postingan yang asli ada di drcupu.wordpress.com ya..

Ini Biaya Hidup Bulanan Keluarga Mahasiswa di Jerman

Oleh: M. Yusuf Awaluddin

 

Beberapa hari yang lalu, seorang kawan yang juga mahasiswa dari Australia mengontak saya dan mengajak berdiskusi mengenai biaya hidup di Jerman. Konon dia tertarik untuk membandingkan tingkat pengeluaran seorang mahasiswa di Australia dan di Jerman. Entahlah…kalau saya lihat sekilas dan dengan apa yang saya alami, biaya hidup di Jerman lebih murah dibandingkan dengan di Australia secara umum, namun kalau bicara gaji, maka Australia relatif lebih tinggi. Coba saja bandingkan dengan menggunakan link http://www.numbeo.com/cost-of-living/.

Saya pun tertarik untuk membedah berapakah biaya yang harus saya keluarkan selama sebulan untuk sebuah keluarga dengan 2 orang anak di kota Bremen, Jerman. Berikut rinciannya :

  1. Biaya sewa apartemen dengan luas 70 m2 = 572 EUR
  2. Biaya listrik dan air = 75 EUR
  3. Biaya asuransi 3 orang (1 istri 2 anak), asuransi saya dibayarin = 180 EUR
  4. Internet (tahun lalu cuma 19 EUR, tahun ke-2 kontrak naik) = 25 EUR
  5. Iuran ARD, semacam iuran TVRI jaman dulu di Indonesia = 18 EUR
  6. Biaya administrasi bank (ini utk usia >30 thn tidak gratis) = 5 EUR
  7. Biaya kas Kindergarten anak = 5 EUR
  8. Biaya kegiatan ekstrakurikuler sore hari utk 2 anak = 25 EUR
  9. Biaya kas saya di komunitas = 20 EUR

Sehingga kalau di total jenderal berjumlah 925 EUR tiap bulan sebagai pengeluaran rutin yang tidak bisa diutak-atik. Biaya tersebut BELUM termasuk biaya MAKAN, transport, jajan dan jalan-jalan. Biaya-biaya terakhir ini sangat tergantung kepada gaya hidup masing-masing orang. Besarkah biaya hidup keseluruhannya? mahalkah biaya hidup di Bremen, Jerman ini? tergantung juga sih seberapa besar gaji yang kita terima 😀

*Tulisan asli dapat diakses di http://blogs.unpad.ac.id/myawaludin/2015/03/23/ini-biaya-hidup-bulanan-keluarga-di-jerman/