Koblenz – Sudut Tercantik di Jerman.

Koblenz - Sudut Tercantik di Jerman.
(Deutsche Eck – The German Corner. Sumber: dokumen pribadi)

 

Hallo teman-teman! Kali ini kami akan menceritakan sedikit tenting kota tempat tinggal kami saat ini. Di kota ini juga kami sedang melanjutkan studi yaitu di University of Koblenz-Landau, Campus Koblenz.

Continue reading “Koblenz – Sudut Tercantik di Jerman.”

Dunia Penelitian di Jerman : Fraunhofer Gesellschaft sebagai motor penggerak Riset berbasis terapan di Eropa

 

Jerman sebagai salah satu negara yang terpandang di Eropa memiliki sejarah yang panjang dalam dunia penelitian teknologi di dunia. Dunia penelitian di Jerman bersifat dinamis, yang artinya berubah mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan manusia. Dari negeri yang terletak di daratan Eropa ini, dapat kita sebut beberapa tokoh yang terkenal akan penemuan dan inovasi yang mengubah dunia, antara lain Albert Einstein, Carl Benz, Gottliebb Daimler, Johannes Kepler, Max Planck, Joseph von Fraunhofer, dll. Dari nama-nama tersebut, nama terakhir diabadikan untuk membuat suatu organisasi penelitian ilmu pengetahuan terapan yang berbasiskan pada beberapa bidang yang merupakan kebutuhan orang banyak : kesehatan, komunikasi, keamanan, mobilitas, energi, dan lingkungan hidup.

Fraunhofer Gesellschaft atau Organisasi Fraunhofer didirikan pada tahun 1949 yang mana merupakan tahun yang sama dengan didirikannya Republik Federal Jerman. Objek dari sumber pendanaan awalnya adalah berupa donasi dari beberapa distribusi pendanaan dan donasi untuk penelitian ilmu pengetahuan terapan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, organisasi ini diambil dari nama Joseph von Fraunhofer (1787 – 1826) untuk menghargai jasanya dalam mengembangkan metodologi penelitian di bidang optik, ilmu terapan dan rekayasa presisi. Visi dan Misi dari organisasi ini adalah mengembangkan jaringan internasional dari riset terapan untuk pemanfaatan secara ekonomi dan untuk masyarakat dan membantu pengembangan sistem dan teknologi berbasis inovasi untuk pelanggannya.

Organisasi ini merupakan yang terbesar di Eropa untuk riset terapan, dengan memiliki lebih dari 60 fasilitas penelitian di Jerman dengan lebih dari 24.000 staff profesional. Jumlah dari pendanaan risetnya sendiri di tahun 2014 mencapai 2,1 milyar Euro, yang mana 1,8 milyar diperoleh dari kontrak penelitian yang 70% diperoleh dari kontrak dengan dunia industri dan dari proyek pendanaan riset publik, serta hampir 30% dari pendanaan oleh pemerintah Jerman dan beberapa negara bagiannya. Saat ini, organisasi ini juga mengadakan kerjasama dan kolaborasi internasional dengan lembaga-lembaga penelitian di seluruh dunia untuk melakukan riset terapan. Diantara kerjasama tersebut, Organisasi ini berkolaborasi dengan Max Planck Society dengan tujuan untuk meningkatkan bidang-bidang riset excellent dari awal sampai dengan aplikasi dan implikasinya secara ekonomi ke depan.

Dandy_Fraunhofer_2

Gambar : Fraunhofer Institute for Industrial Engineering – Stuttgart, Germany [2]

Dalam melakukan riset dan penelitian, pada umumnya memerlukan bantuan dari mahasiswa dalam melakukan penelitian dan pengembangan suatu teknologi. Oleh karena itu, sangat umum jika lembaga-lembaga penelitian seperti Fraunhofer ini memperkerjakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang ada di sekitar fasilitas penelitiannya, untuk bekerja sebagai kerja paruh waktu sebagai Studentische Mitarbeiter, penelitian untuk skripsi, thesis dan disertasi (Bachelor-/ Master-/ Diplomarbeit), serta dapat pula untuk melakukan praktik kerja lapangan, atau yang umum disebut Praktikum. Untuk melihat tawaran-tawaran untuk kerja paruh waktu atau kerja praktik lapangan, anda dapat melihat pada referensi [3].

Sebagai tempat riset aplikasi terapan terdepan di Eropa, tentu tidak mudah untuk dapat mendapatkan kerja paruh waktu ataupun praktik kerja lapangan di Fraunhofer ini. Anda pada umumnya dituntut untuk mahir dalam beberapa bidang yang spesifik, seperti pemrograman komputer, pengetahuan mengenai beberapa software tertentu, serta beberapa teori dasar dan terapan dalam berbagai bidang yang menunjang penelitiannya. Selain itu, bahasa Jerman juga menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan lolos tidaknya anda diterima untuk bekerja disini.

Mochamad Dandy Firmansyah,

PK-39, University of Stuttgart

Referensi :

[1] http://commons.wikimedia.org

[2] http://www.fraunhofer.de/

[3] http://www.fraunhofer.de/de/jobs-und-karriere.html

Aku Harus ke Jerman!

“Aku harus ke Jerman”

 

Hanya itu yang ada di pikiranku ketika mulai kuliah. Bagaimanapun caranya aku harus ke sana. Ini adalah sikap keras kepala milikku yang kupikir menguntungkan untuk disimak.

Mengapa?

Ingatanku sebagai anak umur enam tahun terbatas. Aku hanya ingat bahwa aku menyukai apa yang ibuku lakukan. Aku menyukai segala sesuatu tentang Jerman (kecuali toilet keringnya) hingga aku bertekad aku ingin sekolah ke Jerman seperti ibuku. Ibuku sering bernostalgia tentang bagaimana ibuku menjalani tesisnya, kegiatan di sana, dan lain-lain. Apa yang terjadi di otakmu ketika “sekolah di Jerman” itu menjadi repetisi dan ingatan masa kecilmu di sana adalah hal-hal yang menyenangkan? Seluruh sel di tubuhmu akan punya memori tetap, “aku harus kembali ke sana”. Mimpi biasanya dipengaruhi oleh orang-orang terdekat dan mimpiku sekolah ke Jerman adalah hadiah dari ibuku. Iya, mimpi itu hadiah. Hadiah karena ini membuatku berharap dan punya tujuan.

Itulah yang terjadi di sepanjang masa kuliah sarjanaku di Indonesia. Aku berpikir bagaimana caranya bisa kembali ke Jerman dalam rangka sekolah. Gagasan ini tertanam kuat di kepalaku selama bertahun-tahun. Ketika tekadmu sudah sekuat itu, badanmu tanpa sadar akan berusaha mewujudkan hal paling permanen yang ada di otakmu seumur hidupmu. Itulah yang terjadi kepadaku. Di sini adalah ketika aku menjadi saksi pepatah “di mana ada kemauan di sana ada jalan”. Kejadiannya benar seperti itu.

Menjelang kelulusanku sebagai sarjana, aku langsung mencari-cari beasiswa yang tepat. Ibuku mendukungku dengan memberikan semua info beasiswa yang datang dari komunitas alumninya, alumni DAAD. Namun, karena beliau mendapatkan beasiswa DAAD sebagai seseorang yang sudah bekerja, terpatri di otakku bahwa DAAD hanya untuk yang sudah bekerja. Kesempatanku dapat akan kecil sekali, padahal aku ingin langsung sekolah lagi setelah lulus. Aku pun tidak mencari tahu lebih banyak tentang DAAD.

Aku beralih ke Erasmus Mundus karena beasiswa yang satu ini banyak penerimanya dari universitasku. Sekali daftar sudah langsung mendapat beasiswa dan universitasnya, mudah sekali kan? Aku langsung mencari semu program Erasmus Mundus yang terkait dengan minatku, ekologi. Pilihanku saat itu adalah dua beasiswa Erasmus Mundus yang memungkinkanku berpindah di berbagai universitas di Eropa: TROPIMUNDO dan IMAE. Mengapa dua? Karena daftar satu belum tentu diterima. Berbeda dengan mendaftar ke universitas di Indonesia ketika masa SNMPTN, beberapa program master lebih fleksibel dalam tenggat waktu konfirmasi karena kalender akademik negara di Eropa berbeda dari kalender akademik di Indonesia. Aku berusaha keras menyusun CVku sebagus mungkin dengan bantuan senior-senior yang sudah berhasil sekolah ke luar negeri. Surat motivasi juga ditulis berhari-hari lamanya sebelum tenggat waktu. Puluhan laman tentang bagaimana menulis surat motivasi yang baik dari Google kulahap semuanya. Namun, setelah semua itu, dua program yang menjadi targetku tidak meloloskanku sebagai penerima beasiswa.

Mereka menerimaku, tapi tidak memberiku beasiswanya. Namun, mereka memberiku banyak link tentang sumber dana yang mungkin untukku tapi aku harus mencarinya sendiri.

Semua ini berjalan paralel dengan aplikasiku ke sebuah universitas di Jerman tempat aku berkuliah sekarang dan pendaftaranku ke LPDP. Mengapa dari awal aku tidak fokus ke LPDP? Percaya atau tidak, kala itu aku tidak suka LPDP.

Pertama, persyaratannya banyak. Surat ini dan itu, esai ini dan itu, dan masih banyak lagi. Itu juga masih harus wawancara. Kedua, aku harus fokus mendaftar beasiswa dan mencari sekolah. Dibandingkan Erasmus Mundus yang memberikan beasiswa dan sekolahnya, LPDP tampak merepotkan di mataku. Selain itu, berbeda dengan Erasmus Mundus yang terus didengungkan di kampusku, LPDP belum terlalu populer.

Tapi aku tidak diterima Erasmus Mundus dan aku harus melangkah maju. Cuma satu yang ada di pikiranku, “aku harus ke Jerman”. Dengan itu di kepalamu selama bertahun-tahun, tidak sulit untuk selalu bergerak mencari segala peluang yang mungkin. Jujur, ketika melihat ke belakang seperti ini, aku tidak menyangka aku yang dulu duduk berjam-jam di depan laptop untuk mencari semua informasi tentang sekolah ke Jerman itu aku yang sekarang menulis cerita ini untuk kalian. Aku buang jauh-jauh ketidaksukaanku dan mencoba.

Yang kusesalkan kala itu adalah aku tidak banyak meminta bantuan ibuku yang jelas lebih tahu hanya karena aku tidak ingin merepotkan beliau. Tapi aku tahu, doa beliau yang memudahkan segala ini. Aku bisa bilang sekarang bahwa restu orang tua adalah faktor utama yang sejajar dengan tekad. Aku merasa aku meluncur dengan semua pendaftaran itu, nyaris tak ada kesulitan, karena kedua orang tuaku sangat mendukungku untuk melanjutkan sekolah.

Aku melengkapi semua administrasi yang diminta LPDP untuk ikut periode kedua seleksi tahun 2015. Ketika itu, aku sudah mendaftar ke LMU, Jerman untuk Munich Graduate School of Evolution, Ecology, and Systematics (EES). Semua mata kuliah yang kuminati selama sarjana dalam satu program master. Aku belum tahu kala itu diterima atau tidak. Selama tujuh bulan lebih setelah wisuda, aku menganggur. Bisa dibilang mencicil krisis usia perempat baya karena banyak temanku yang sudah mendapatkan pekerjaan. Aku mulai bimbang apakah aku sebaiknya mencoba mencari kerja atau menunggu pengumuman.

Tapi, seperti yang sudah kukatakan, seluruh sel di tubuhku ingin ke Jerman. Aku sempat mendaftar pekerjaan namun tidak memaksimalkan diri saat wawancara karena ibu ingin aku lebih fokus kepada mencari sekolah jika memang itu yang ingin kulakukan. Genap sudah atmosfer duniaku terangkum dalam satu frase selama enam bulan: mencari sekolah dan biayanya.

Segala puji bagi Allah, aku lulus seleksi administrasi. Aku menjalani wawancaraku di Jogja, sekitar tiga jam dari rumahku di Semarang, dengan dukungan seluruh keluargaku. Kalau boleh jujur, hanya satu hal yang kupikirkan menjelang wawancara: aku ingin orisinil. Terlepas dari kemeja pinjaman Bude, aku ingin tampil seperti diriku apa adanya ketika wawancara. Aku ingin lolos karena aku adalah aku. Tidak dihias basa-basi nasionalisme atau dominasi ideologi pribadi. Aku ingin pewawancaraku bertemu Sabhrina Gita Aninta dalam kondisi sehari-harinya.

Aku tidak bohong ketika aku bilang gugup mendekati jadwal. Ada perasaan seperti akan masuk panggung ketika kamu sedang mempersiapkan dirimu dinilai orang lain. Ada perasaan ingin menamengi dirimu dengan segala sesuatu yang baik dan memberikan kesan yang menyenangkan. Itu memang yang terjadi, tapi bisa kukatakan tidak ada yang spesial.

“Indonesia butuh lebih banyak ahli di bidang basic science,” jawabku ketika ditanya tentang nama jurusanku yang tak lazim.

Banyak gosip tentang bagaimana LPDP menentukan penerima beasiswanya, dan salah satunya adalah kuota jurusan. Entah apakah karena memang aku satu-satunya orang yang belajar bidang yang kupelajari ini dari sekian banyak yang mendaftar, LPDP memang punya visi di bidang sains hayati, atau aku memang dinilai layak menerima beasiswa mereka, aku tak tahu. Singkat kata, aku lolos. Entah mengapa. Banyak kata “mungkin” yang keluar dariku ketika teman-temanku bertanya. Tapi aku menemukan satu kesamaan di sebagian besar teman-teman sesama penerima beasiswa LPDP: mereka tahu apa yang mereka lakukan. Ada tekad bawah sadar yang terpatri di benak mereka, apa pun itu. Ada tujuan di hadapan mereka, seabstrak apa pun itu. Tujuanku adalah membantu masyarakat Indonesia menjadi khalifah Bumi yang baik dengan memikirkan spesies lain yang tinggal bersama mereka.

Tapi aku belum tahu apakah aku lolos seleksi universitas atau tidak. Bisa kukatakan ada degupan keras ketika panitia seleksi untuk EES dari LMU mengirimiku kabar bahwa aku diminta siap untuk seleksi kedua via Skype akhir Maret. Aku hanya diminta presentasi selama lima menit namun aku berlatih selama berhari-hari di kamar sampai tidak ada yang berani mengetuk pintu kamarku. Seminggu kemudian, mereka menyatakan aku lolos dan tinggal menunggu Letter of Acceptance dari universitas pusat.

“Aku harus ke Jerman,”

Aku bersyukur dengan tekad bawah sadar ini. Kadang-kadang, keras kepala dalam bertekad itu penting. Sikap ini membuatmu konsisten dalam usaha dan tujuanmu. Tak disangkal ini membuatmu masuk ke dalam masalah sesekali. Hanya saja, selalu ada dua sisi dari segala sesuatu dan aku menemukan sisi lain yang menguntungkan dari kekeraskepalaanku. Setiap orang punya sisi yang bisa dimanfaatkan untuk mencapai tujuannya dan untuk kasusku, ia adalah keras kepala.

Sebagai tambahan, aku harus memberitahu bagian terbaik dari mendapatkan mimpi atau tekadmu terpenuhi: kamu harus mencari mimpi atau tekad baru. Patri itu ke bawah sadarmu dan mulai kembali perjalananmu. Mimpi baruku? Menjalani sekolahku dengan baik sebagai rasa syukur tentunya.

 

Munich, 11 Februari 2016

Sabhrina Gita Aninta

 

Mengikuti Jejak Habibie: Dari Bandung Hingga ke Aachen

 

Alhamdulillah terima kasih sebelumnya kepada Formal Jerman karena saya diberikan kesempatan untuk berbagi pengalaman perjalanan hidup saya mempersiapkan studi lanjut di Jerman.

Gambar 1

Gambar 1: Muktamar II Formal Jerman (bersama teman-teman PPI) di kota Aachen. Sumber: dokumentasi Formal Jerman

 

Be the change that you wish to see in the world.” – Mahatma Gandhi

Quote di atas cukup menjelaskan niat saya untuk lanjut studi master. Keinginan saya berawal saat saya masih berada di semester 7 dalam studi S1. Saya adalah mahasiswa jurusan teknik elektro di ITB angkatan 2009. Saat itu saya sudah mulai merencanakan persiapan untuk studi lanjut untuk program Power Engineering. Saya ingin sekali ke Jerman. Saya mulai membeli buku-buku tentang bahasa Jerman dan mulai belajar secara otodidak (walau pada akhirnya tidak terlalu memuaskan, tapi lumayan buat modal belajar).

Saya mulai browsing tentang kampus-kampus teknik di Jerman dan juga mencari info tentang beasiswa. Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule Aachen atau RWTH Aachen, tempat pak Habibie menuntut ilmu dulu, menjadi tujuan utama saya waktu itu. Namun, saat itu saya tidak menemukan beasiswa yang tepat buat saya, umumnya beasiswa yang saya temukan mensyaratkan pengalaman kerja paling tidak dua tahun, atau mensyaratkan awardee-nya untuk bekerja di instansi pemerintah atau dosen di universitas. Saya belum siap saat itu, bayangan saya setelah lulus adalah saya ingin bekerja di industri atau menjadi entrepreneur. Keinginan untuk studi di Jerman pun saya pendam terlebih dahulu.

 

Kegagalan hanya akan ada bila kita menyerah untuk mencoba.” – B.J. Habibie

Strategi saya ubah, saya mencari universitas dimanapun yang juga memiliki penawaran beasiswa penuh. Dan karena saya ingin juga belajar langsung bahasa lain selain bahasa Inggris, maka universitas di Amerika dan Inggris dicoret dari list saya. Saat itu keluar lah beberapa universitas serta beasiswa hasil pencarian saya, beberapa di antaranya yang saya garis bawahi adalah beasiswa Eiffel (Prancis), TU Delft Excellence (Belanda), Monbukagakusho (Jepang), dan Swedish Institute Scholarship (Swedia). Menyedihkan saat mengetahui batas akhir pendaftaran beasiswa Eiffel dan TU Delft Excellence sudah lewat untuk periode keberangkatan tahun 2013. Saya pun menarget Monbukagakusho terlebih dahulu karena deadline paling dekat, saya awali dengan menghubungi salah satu profesor di Tokyo Institute of Technology. Sang professor pun merespon email saya secara positif, namun beliau mensyaratkan ketrampilan berbahasa Jepang untuk bergabung ke dalam institutnya, yang mana tidak bisa saya penuhi dalam waktu yang singkat.

Gambar 2Gambar 2: KTH Royal Institute of Technology. Sumber: google.com

Saya pun beralih untuk mendaftar ke KTH Royal Institute of Technology dengan harapan bisa diterima pula untuk beasiswa penuh dari Swedish Institute. Saya awali dengan persiapan tes IELTS sebagai persyaratan kemampuan berbahasa Inggris. Saya ingat saya mengikuti tes ini pada saat minggu UTS di ITB. Saya pun mempersiapkan persyaratan lain seperti motivation letter, recommendation letter, dan membuat CV sebagus mungkin. Alhamdulillah, saya mendapatkan Letter of Acceptance (LoA) sebagai calon master student di KTH Royal untuk jadwal studi September 2013. Namun, saya belum berhasil untuk mendapatkan beasiswa dari Swedish Institute. Walhasil, keinginan saya untuk lanjut studi harus tertunda pada saat itu.

 

Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving.” – Albert Einstein

Saya pun memutuskan untuk bekerja setelah lulus S1 untuk mencari pengalaman. Ketertarikan saya di bidang tenaga listrik semakin kuat setelah saya bekerja di salah satu industri di bidang tersebut. Saya bekerja hingga akhirnya saya menemukan beasiswa pendidikan Indonesia dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Tidak menunggu lama, saya pun segera mempersiapkan berkas yang dibutuhkan. Saat itu proses aplikasi BPI LPDP hanyalah wawancara dan Program Kepemimpinan (PK). Saya mendaftar BPI LPDP dengan tujuan TU Darmstadt di Jerman. Mengapa tidak ke RWTH Aachen? Karena RWTH Aachen membutuhkan Graduate Record Examination (GRE) Test sebagai syarat aplikasinya yang mana membutuhkan biaya dan persiapan dulu untuk mengikutinya. Dan saya tidak menggunakan LoA KTH Royal karena saya berpikir terlalu besar biaya yang harus dikeluarkan LPDP bila saya studi disana, saya tetap pilih Jerman karena biaya studinya lebih rendah dan saya pikir itu akan menambah kemungkinan saya diterima oleh LPDP.

Kesalahan saya adalah saya tidak mempersiapkan dengan matang wawancara saat itu, saya belum memikirkan rencana studi dan rencana pasca kelulusan dengan kesungguhan. Akhirnya saya tidak lulus wawancara LPDP saat itu. Apakah saya berhenti kali ini?

 

“Many of life’s failures are people who did not realize how close they were to success when they gave up.” – Thomas A. Edison

Tidak. Saya mencoba untuk mendaftar BPI LPDP untuk ke-2 kalinya. LPDP memperbolehkan kita untuk mendaftar BPI LPDP sebanyak dua kali (saya tidak tahu apa kah peraturan ini sudah berubah atau belum). Saat dinyatakan tidak lulus wawancara saat itu saya langsung mempersiapkan untuk mendaftar BPI LPDP kembali. Kali ini tujuan saya adalah KTH Royal Institute of Technology, karena saya sudah ada LoA dari universitas tersebut dan saya baru tahu kalau LPDP tidak melihat biaya yang akan mereka keluarkan melainkan kepantasan calon penerima beasiswanya.

Persiapan kali ini saya siapkan dengan matang. Rencana studi, surat motivasi dan dua essai saya buat dengan sungguh-sungguh. Begitu pula persiapan untuk tahapan wawancara. Alhamdulillah keluar kabar dari gedung AA Maramis (kantor LPDP) bahwa saya lulus wawancara dan saya diminta untuk mengikuti Program Kepemimpinan (PK) angkatan ke-9. Program Kepemimpinan ini adalah acara yang diadakan selama dua belas hari saat itu dan dihadiri oleh 112 penerima BPI LPDP. Saat itu kami pun sampai dikirim terjun ke masyarakat di Baduy dan juga pelatihan semi militer di markas TNI AU di Halim, dua hal yang tidak mungkin saya lupakan dalam hidup saya. Akhirnya, seluruh peserta Program Kepemimpinan angkatan 9 saat itu dinyatakan lulus sebagai awardee BPI LPDP.

 

An investment in knowledge pays the best interest.” – Benjamin Franklin

LPDP memberikan waktu satu tahun untuk mencari LoA dan memperbolehkan para awardee-nya untuk pindah universitas. Dua kemudahan yang diberikan LPDP ini saya manfaatkan. Saya pun kembali ke tujuan awal saya, yaitu RWTH Aachen.

Gambar 3Gambar 3: Catatan persiapan aplikasi di RWTH Aachen. Sumber: dokumentasi pribadi.

Saya mulai mempersiapkan persyaratan yang dibutuhkan untuk aplikasi di RWTH Aachen. Resume, surat rekomendasi, surat motivasi, dan GRE Test pun saya persiapkan. Saya pun membeli beberapa buku untuk latihan GRE ini. Saya kemudian menulis panduan untuk GRE Test di sini:

http://lpdp-jerman.org/graduate-record-examination-gre-test-my-one-test-to-germany/

Saya juga harus kembali mengambil tes IELTS karena sudah melewati masa berlakunya (dua tahun). Tak sedikit uang yang saya keluarkan untuk mempersiapkan ini itu. Semuanya saya persiapkan dengan matang, saya tidak ingin ada yang kurang satu pun. Semua berkas yang dibutuhkan pun saya kirim via pos. Hingga pada akhirnya keluar lah pengumuman bahwa saya diterima di program master Electrical Power Engineering di RWTH Aachen untuk jadwal mulai studi Summer Semester 2015. Tak lupa saya menghubungi LPDP untuk mengajukan perpindahan universitas.

Gambar 4Gambar 4: Potongan LoA RWTH Aachen. Sumber: dokumentasi pribadi

Alhamdulillah.

 

Epilog:

Dalam persiapan studi ini saya pernah gagal tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Namun, saya tidak berhenti dan pada akhirnya saya bisa berangkat menuntut ilmu di RWTH Aachen. Saya yakin lebih banyak lagi perjuangan yang lebih berat yang dilalui teman-teman pelajar yang berhasil terutama para pencari beasiswa seperti saya. Pertanyaannya: Apakah teman-teman lainnya sudah mencoba? Kalau belum, lantas apa alasannya untuk menyerah?

Fauzan Saputra

Msc Electrical Power Engineering Candidate, RWTH Aachen

Pengalaman Aplikasi Kuliah ke Jerman (University of Kiel)

PROLOG

Ada banyak alasan bagaimana seseorang akhirnya memilih Jerman sebagai negara tujuan mereka untuk melanjutkan studi.  Sepeti yang sudah kita ketahui, Jerman adalah salah satu negara yang terkenal akan kemajuan teknologi dan industrinya. Soal pendidikan, Jerman jarang sekali memungut tuition fee dari mahasiswanya dan lagi biaya hidup di Jerman terhitung murah dibandingkan dengan negara-negara lain yang ada di Eropa. Namun demikian, yang menjadi pertimbangan utama para awardee adalah kecocokan dan ketepatan subjek mata kuliah yang ditawarkan dengan kebutuhan mereka masing-masing demi untuk meningkatkan kualitas keilmuan mereka, teknik dan juga pengalaman yang nantinya akan dibutuhkan untuk menunjang performa kerja dimasa depan.

Kiel 1

sumber : http://www.cau350.uni-kiel.de/fileadmin/_processed_/csm_cau350-logo-en-rgb-240x234_5f846af6a7.png

Saya pribadi memilih Cristian Albrechts Universitat zu Kiel atau yang lebih dikenal dengan University of Kiel sedari awal saat men-submit berkas pendaftaran online beasiswa LPDP. Saya melakukan pendaftaran tanpa memegang LOA, mengingat saat itu saya mendaftar LPDP pada bulan Januari sedangkan pendaftaran University of Kiel (Uni-Kiel) baru akan dibuka pada bulan Maret sampai Mei setiap tahunnya (saya hanya berbekal bukti korespondensi dengan salah satu profesor uni-Kiel yang menyatakan bahwa beliau bersedia menerima saya di lab-nya jika saya dinyatakan lulus admission di Uni-Kiel).

 

Proses Aplikasi

Singkat cerita, Pada bulan Maret 2015 akhirnya saya resmi menjadi salah satu orang yang beruntung untuk bisa menjadi penerima beasiswa LPDP. Karena saya adalah salah satu pelamar tanpa LOA, hal pertama yang saya lakukan saat itu adalah mengurus admission saya ke University of Kiel (dan juga ke beberapa Universitas cadangan saya). Proses aplikasi dilakukan melalui email dengan salah satu staff admission program studi yang saya tuju, yaitu Agrigenomics. Tidak ada pengiriman dokumen fisik ke Jerman, karena semua dokumen akan di verifikasi saat registrasi ulang di awal semester.

Berikut adalah dokumen yang dibutuhkan utuk proses aplikasi :

  • Formulir pendaftaran bisa di download di website Agrigenomics Uni-Kiel, formulir berupa isian data seperti CV dan juga beberapa essay yang harus diselesaikan (dokumen-dokumen pendukung yang dibutuhkan juga tercantum pada formulir ini)
  • Ijazah SMA (English)
  • Ijazah dan transkrip S1 (English)
  • Letter of Admission S1 atau surat bukti lulus ujian Universitas (kalau ada. saya sendiri hanya menggunakan surat keterangan dari fakultas bahwa saya diterima di Universitas andalas pada tahun 2010 melalui jalur SNMPTN)
  • Motivation Letter
  • Sertifikat kemampuan bahasa (550 points in TOEFL® ITP-paper based, 230 points in TOEFL-Computer based, 90 points in TOEFL-Internet based, 6.5 points in IELTS, no band less than 6, 8 tahun kelas bahasa inggris di sekolah Jerman, Pernah tinggal selama 6 bulan di negara berbahasa inggris)
  • Surat tugas jika sudah pernah bekerja
  • Pernyataan sumber pendanaan (disini saya melampirkan Letter of Sponsorship dari LPDP)
  • Surat Rekomendasi dosen ataupun atasan (tidak dituliskan sebagai dokumen yang harus dilampirkan, namun menurut saya surat ini cukup mempengaruhi keputusan kelulusan)

 

Semua dokumen dikirimkan melalui email langsung ke Dr. Nazgol Emrani, Plant Breeding Institute( n.emrani@plantbreeding.uni-Kiel.de). Pendaftaran ditutup pada tanggal 31 Mei setiap tahunnya. Pelamar yang berhasil lolos seleksi akan menerima pemberitahuan kelulusan pada awal Juni setiap tahunnya, selanjutnya International Center of University of Kiel akan mengirimkan Admission Letter melalui email dan pos, selain itu mereka juga akan menjelaskan Enrollment Procedure yang harus diperhatikan oleh para mahasiswa (seperti tanggal registrasi hingga proses-proses administratif lainnya seperti housing, asuransi, residence permit dan lainnya). Proses registrasi dilakukan dalam 4 periode dari bulan September hingga awal Oktober, sedangkan perkuliahan akan dimulai sekitar pertengahan Oktober.

Kiel 2

sumber : http://i.ytimg.com/vi/DS0a5UkgQHo/maxresdefault.jpg

Kriteria Penerimaan

Seleksi akan dilakukan dengan parameter berikut :

  • Gelar sarjana (Kualifikasi, Mata kuliah yang pernah diambil, nilai)
  • Letter of Motivation
  • Kemampuan Bahasa inggris
  • Kualifikasi lebih jauh (Pengalaman kerja, magang dan lain-lain)

Pelamar harus memiliki gelar sarjana dari bidang Ilmu Pertanian, Biologi,Bioinformatika, Biokimia, Genetik atau disiplin ilmu terkait, dengan nilai minimal B- .

Personal Statement

Pada formulir aplikasi personal statement akan digiring berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang ada pada formulir tersebut. Pertanyaan tersebut berkaitan dengan alasan kenapa memilih untuk melanjutkan studi di program Agrigenomics di Uni-Kiel dan tujuan yang ingin dicapai baik dari segi keilmuan ataupun profesi. Untuk informasi terbaru dan lengkap bisa di akses pada link ini.

Pasca pengumuman kelulusan

Ibarat game, ada banyak sekali stage atau level baru yang akhirnya terbuka setelah saya menerima surat pengumuman kelulusan dari university of Kiel. Hal pertama yang saya lakukan adalah pengajuan Kontrak ke LPDP dan LOG yang mana nanti akan digunakan untuk aplikasi visa.

Saya juga mulai mencari tempat tinggal di Jerman. Sebagai pelajar berstatus single, tempat ter-ideal bagi saya adalah asrama yang di kelola oleh Studentenwerk. Untuk pengajuannya bisa dilakukan dengan mengisi formulir online di website Studentenwerk-nya Kiel.

Saya memilih mengajukan permohonan ke Studentenwerk melalui  International Center kampus, menurut senior akan lebih mudah bagi saya karena nanti IC akan membantu mencarikan kamar, menawarkan beberapa kamar yang kira-kira sesuai dengan kriteria kita, hingga nanti pada akhirnya kita cukup terima kunci dan tekan kontrak di hari pertama kedatangan di Jerman.

Alhamdulillah, semuanya dimudahkan oleh Allah, setelah menunggu kira-kira 1 bulan, akhirnya saya diberi kabar oleh IC kalau ada 1 kamar yang tersedia dan itu sesuai dengan kriteria saya, sendiri sekamar, kamar mandi didalam dan cukup dekat dari kampus sehingga bisa bersepeda kalo ngampus, tentu saja saya langsung ambil penawaran itu. Semua pembayaran akan dilakukan di saat sampai diJerman nanti, bersamaan dengan penyerahan kunci dan penandatanganan kontrak. Belum lagi servis penjemputan dari bandara yang mereka tawarkan, dengan catatan kita sudah mengajukan permohonan 10 hari sebelum kedatangan. kurang baik apa lagi coba?. Belum apa-apa saya udah dibikin jatuh cinta sama Kiel <3.

 

Penulis : Hashlin Pascananda Utami (S2 University of Kiel)

Originally posted on : http://hashlinutami.blogspot.com/2015/08/pengalaman-aplikasi-kuliah-ke-jerman.html

MENGEJAR JERMAN!! #PART2 (AWARDEE LPDP PROGRAM DOKTOR LUAR NEGERI)

Lanjutan kisah pertama : MENGEJAR JERMAN!! #PART1 (GAGAL DAPAT BEASISWA IGSP)

Penulis : Arif Luqman (LPDP-Jerman Awardee)


Rasa galau, bingung, penat, dan down masih menyelimuti hati (ceilee..) beberapa hari setelah melihat pengumuman tertulis penerima beasiswa IGSP dan nama saya gak tercantum di daftar tsb. Sementara itu, sang Profesor dari negeri seberang menanyakan kapan kepastian berangkat. Pfft…

Beberapa minggu kemudian, di Gedung Pasca Sarjana ITS diadakan sosialisasi beasiswa LPDP. Saya memutuskan untuk hadir walaupun sudah tau beberapa hal dan mekanisme dalam beasiswa LPDP karena pada saat mengerjakan tesis, saya pernah mendaftar untuk program beasiswa tesis dan hanya sampai ke tahap wawancara. Hasil dari menghadiri sosialisasi tersebut adalah saya jadi tahu bahwa LPDP membuka pendaftaran sepanjang tahun dan melakukan proses wawancara 4 kali dalam setahun. Ternyata sosialisasi tersebut dilakukan untuk menginformasikan pada civitas akademik ITS bahwa dalam waktu dekat pendaftaran LPDP ditutup sementara dan dilakukan proses seleksi administrasi dan wawancara.

Saya langsung melengkapi persyaratan dan mengupload persyaratan tersebut via internet karena seleksi administrasi beasiswa LPDP ini dilaksanakan secara online. Persyaratan yg dibutuhkan juga gak berbeda jauh dari persyaratan beasiswa IGSP, jadi saya tinggal scan dokumen dan upload serta membuat 2 essay yang menjadi persyaratan wajib. Selain itu, saya juga mengusahakan untuk mendapatkan LoA dari pihak fakultas dari Universitas di Jerman yg saya lamar.

Pihak fakultas meminta syarat2 standar seperti fotokopi legalisir transkrip dan ijazah dalam bahasa inggris, ijazah sma dalam bahasa inggris, dan surat keterangan 30% lulusan terbaik (ini yang ngurusnya ribet banget) dan dikirim via pos!! Ya via pos alias regular mail!! Helllooo jaman gini ngirim dokumen persyaratan masih viaregular mail?? Saya keberatan bukan karena alasan metode pengiriman dokumen yang ketinggalan jaman sih, tapi lebih ke BIAYA!! Ya , biaya kirim dokumen sekuprit aja ke Jerman habis Rp 300.000… Beuh!! Yah apa boleh buat, demi…..!!!

2 minggu setelah pendaftaran online LPDP ditutup, diumumkan peserta yang lolos administrasi dan akan menerima undangan untuk wawancara, alhamdulillah saya lolos (perasaan udah biasa aja, karena udah sering lolos administrasi.. hehe). 1 minggu kemudian undangan wawancara di Gedung Pasca Sarjana ITS Surabaya. Tahap wawancara inilah salah satu tahap yang paling menentukan pada waktu itu, karena belum ada mekanisme tambahan berupa LDG (Leaderless Discussion Group). Wawancara yg diselenggarakan di ITS ini menguntungkan saya secara mental (karena sudah hapal medan) dan terutama secara finansial (karena gak perlu “capek” bayar transport ke kota lain.. hehe).

Hari H tahap wawancara saya datang ke lokasi wawancara (sengaja) tidak terlalu awal.. hehehe (jangan ditiru kecuali sudah tau medan). Tiba di lokasi, udah banyak peserta wawancara yg pada ngumpul. 10 menit sebelum dimulai nomor antrian wawancara ditempel dan saya dapat giliran pertama!! Ada yg beberapa peserta kebingungan karena ada persayaratan yg lupa belum diprint, akhirnya beliau meminta tolong saya mengantarkan untuk ke tempat print terdekat. Saya juga bingung, karena waktu mepet dan saya juga giliran wawancara pertama. Akhirnya saya memetuskan untuk mengantar ke perpustakaan lantai 3, lift mati dan terpaksa harus naik tangga. Apesnya sambungan listrik di lantai 3 mati, petugas lantai 3 menyarankan kami untuk naik ke lantai 5. Kami pun naik dengan tangga (lagi) ke lantai 5. Petugas lantai 5 mengatakan kalau di lantai 5 juga tidak bisa print dokumen. Pfft… kami pun berjalan keluar perpustakaan dan berjalan ke jurusan terdekat, teknik perkapalan. Setelah tanya kanan kiri mahasiswa di sana, katanya tidak bisa ngeprint dokumen karena petugas ruag baca sedang keluar. Kamipun memutuskan untuk keluar kampus menggunakan mobil salah satu dari peserta yg juga butuh print persyaratan. Finally, print persyaratan sudah dilakukan dan memakan waktu >30 menit akibat muter2 gak jelas. 😀

Kembali ke lokasi, dan ternyata wawancara sudah dimulai. Dengan tergopoh2, saya bertanya ke panitia yg berjaga di depan ruang wawancara tempat verifikasi dokumen. Beliau pun menjelaskan kalau tadi saya sudah dipanggil beberapa kali tidak muncul jadi langsung dilompati ke peserta selanjutnya. Leganya, beliau memberi pemakluman setelah saya jelaskan akibat keterlambatan dan memberi kesempatan setelah peserta (yang seharusnya) nomor urut 2 keluar.

Akhirnya nama saya dipanggil masuk ke ruangan wawancara. Tidak begitu tegang kalau dibandingkan saat wawancara IGSP yg banyak bulenya. Kali ini interviewernya 3 orang, beliau-beliau ini terdiri dari 2 profesor dan 1 psikolog.

Pertama masuk ruangan, melihat 3 interviewer memegang berkas dan laptop masing-masing. Iterviewer pertama menanyakan kenapa saya terlambat dan saya menerangkan alasannya, beliau pun memaklumi (Lega banget… :D). Interview berjalan dengan menggunakan bahasa inggris dan di akhir menggunakan bahasa Indonesia selama kurang lebih 45 menit tanpa terasa. Panitia mengatakan bahwa pengumuman hasil wawancara keluar 2-3 minggu setelah wawancara.

Sekedar tips untuk para pendaftar beasiswa LPDP yang akan melaksanakan tahap wawancara, berikut kira-kira poin wawancara yg ditanyakan kepada saya :

  • Segala hal mengenai isi CV, baik organisasi, IPK, prestasi, pengalaman dll. Poin ini berfungsi untuk melihat apakah isi CV kita benar atau tidak.
  • Rencana studi, riset yg dilakukan, dan alasan memilih universitas dan bidang
  • Kesiapan kita untuk menghadapi budaya baru, dan semua hal baru lain di LN
  • Rencana masa depan setelah lulus kuliah
  • Poin tambahan (tergantung isis esay kita, CV, dll)

Tiap minggu ngecek web LPDP dan tepat 3 minggu pengumuman hasil wawancara keluar. Download PDF….. (loading). Double click. Baca nama peserta yg lolos wawancara untuk program doktor luar negeri satu persatu……. sreet sreeeet deg deg deg *bunyi mouse bareng sama jantung deg degan*. Jreng jreeeeeng…. Alhamdulillah nama saya tercantum!!! Cek sekali lagi nama dan nomor peserta dan alhamdulillah sesuai. Rasanya seneeeeng pol notog jedok.. 😀

Eh perjuangan buat dapat beasiswa ke Jerman belum selesai broo. Ya, tahap selanjutnya adalah Pelatihan Kepemimpinan alias PK. Saya mengajukan jadwal PK terdekat yaitu ikut PK 10. Alhamdulillah lagi jadwal PK yg keluar sesuai dengan yg saya ajukan.

Dua minggu bergelut dengan tugas pra PK yg lumayan bejibun dan bikin orang buka email tengah malam dan pagi buta 😀. Kemudian berangkat ke Depok untuk pelaksanaan PK selama 2 minggu. Selama PK ketemu dengan orang2 yg super2 semua.. bener2 pengalaman Luar Biasa!! (Beneran gak bo’ong). Selama PK kami semua dimasukkan ke dalam kelompok2 kecil dan saya masuk ke kelompok Kolaborasi, kelompok yg terkenal dengan “kegagalan”nya :p. Tapi jangan salah kegagalan ini yg bikin kami sangat dekat, kayak keluarga sendiri.. hehe. Kegagalan adalah sukses yg tertunda, quote diatas cocok banget buat kelompok kami yg akhirnya dapet juara 3 visualisasi mimpi dan juara 1 apresiasi budaya. PK berakhir dan pengumuman akhir penerima beasiswa LPDP akan dilakukan via email paling lambat 2 minggu setelah PK berakhir. Hal-hal yg berkaitan dengan PK 10 bisa dilihat disini.

Pulang ke Surabaya untuk masuk ke kursus bahasa Jerman pertama kali yg udah bolos 5 hari pertama karena harus ikut PK. Awalnya tolah-toleh kowah kowoh karena gak ngerti di kelas orang2 pada ngomong apa.. hahaha. Di kelas superintensiv ini pengajarnya ada dua yaitu Frau Kiky (orang Indonesia asli yg pernah kuliah di Mainz setahun) dan Herr Schreiber (orang Jerman yg lama tinggal di Amsterdam). Karena les setiap hari (senin-jumat) dari pagi sampai siang, kami para peserta les jadi kayak keluarga kecil (nemu lagi keluarga kecil.. hehe), akrab banget.

2 minggu berjalan tapi pengumuman belum keluar. Para peserta PK 10 banyak yg menghubungi LPDP untuk menanyakan kepastian pengumuman. Seminggu kemudian, pagi2 setelah berangkat ke Goethe Institut, ada email masuk. Klik.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Alhamdulillah… saya dinyatakan sebagai awardee LPDP program doktor luar negeri.. senengnya bukan main.. langsung koprol ribuan kali *tapi dalam pikiran* heheheh 😀

Perjuangan belum berakhir di sini, masih ada pengurusan visa ke jerman, dan hal-hal lainnya.

Semoga di kesempatan lain, saya bisa menceritakan pengalaman pertama mendarat di Jerman. 😀

Moral of this story :

– Jangan pernah menyerah, selalu ada jalan bagi yang terus berusaha

– Don’t be afraid to dream and don’t let your dreams just be dreams.

Repost from : rifluqman.wordpress.com

MENGEJAR JERMAN!! #PART1 (GAGAL DAPAT BEASISWA IGSP)

Repost from : rifluqman.wordpress.com

Penulis : Arif Luqman (LPDP-Jerman Awardee)

Jerman, negara yang termahsyur dengan kemajuan teknologinya dan di negeri kita, negara ini identik dengan Pak Habibie, presiden jenius kita.


Saat kuliah S1 akhir tahun ketiga, pihak kampus (ITS Surabaya) mensosialisasikan beasiswa fast track jerman. Beasiswa ini merupakan beasiswa untuk jenjang S2 dan S3 dimana S2 akan dilakukan di ITS sendiri dan dimulai pada tahun keempat mahasiswa S1 dan S3 dilakukan di Jerman.

Begitu mendengar akan ada seleksi beasiswa ini, sayapun sangat bersemangat untuk mendaftar dan alhamdulillah lolos (penerima beasiswa ini saat itu kira-kira 150an mahasiswa di ITS). Siapa yg gak tergiur dengan beasiswa macam ini, udah S1 dan S2 bisa ditempuh dengan (hanya) lima tahun dan bisa lanjut S3 ke Jerman setelah lulus S2 dengan syarat tertentu, yaitu score TOEFL ITP >550 dan mendapat LoA dari niversitas di Jerman.

Kuliah S2 akhirnya selesai dengan susah payah karena jurusan S1 dan S2 saya (terpaksa) tidak linier. S1 saya jurusan Biologi dan S2 saya jurusan Teknik Lingkungan. Ini karena Jurusan Biologi di ITS pada saat itu belum ada progam studi S2 nya sehingga para penerima beasiswa fasttrack harus mengambil jurusan lain yang paling “dekat” dengan Biologi. Sambil menyelesaikan kuliah S2, saya juga berusaha melengkapi persyaratan untuk mendapatkan beasiswa S3 di Jerman, yaitu TOEFL ITP 550 dan LoA dari Universitas di Jerman. Untuk TOEFL, pihak kampus menyelenggarakan kursus bahasa inggris gratis. Dan untuk LoA, alhamdulillah saya mendapat LoA dari Universität Tübingen, Jerman. Usaha mendapat LoA ini pun gak gampang, cerita lika-liku berburu LoA bisa dibaca di sini.

Sekarang, tinggal menyerahkan persyaratan untuk beasiswa S3 yg masih jadi satu dengan program fastrack. Pihak yg mengurusi beasiswa ini kemudian memberikan konfimasi bahwa kami semua (penerima beasiswa ini) tidak bisa secara langsung mendapat beasiswa S3 di jerman walaupun sudah memenuhi syarat di atas, kami harus mengikuti seleksi terlebih dahulu dan mendaftar di beasiswa IGSP (Indonesia-German Scholarship Program) yang diadakan DIKTI.

Dari 150-an penerima beasiswa fastrack Jerman ini, yang mendaftar IGSP ini hanya 5 orang saja. Sementara yag lain sudah ada jalan hidup sendiri yang harus ditempuh (eak..). Setelah 2-3 minggu menunggu akhirnya pengumuman. Dan, Jreng jreeeeng… Alhamdulillah nama saya termasuk yang lolos administrasi. Dari 5 orang teman yang mendaftar 2 yang lolos untuk maju ke tahap wawancara.

Karena saya dan teman saya yg juga lolos berbeda jadwal hari untuk wawancara akhirnya kami berangkat ke Jakarta sendiri-sendiri via kereta ekonomi dengan durasi perjalanan 13-14 jam.. Superrr sekalii.. 😀

Sampai di Jakarta dan numpang tidur di kos an Deka, teman SMP, SMA, dan Kuliah (satu kampus beda jurusan). Esok paginya berangkat menuju Gedung D Kompleks Kemendikbud lantai 10. Berangkat pagi tapi dapat giliran wawancara jam 5 sore.. hahahaha. Akhirnya ngendon numpang tidur di masjid kompleks Kemendikbud.

Sampai jam 4 sore, saya menuju gedung tempat wawancara dan registrasi. Waktu masuk ke lantai tempat wawancara langsung kaget!! Karena banyak bule Jermannya.. Langsung nervous sampai perut agak mules (penyakit bawaan :D).

Waktu giliran wawancara, nama saya dipanggil dan langsung masuk ke ruangan. Oh ya, ruangan wawancara dibagi-bagi sesuai dengan bidang riset yang diajukan atau jurusan yg akan dimasuki. Jadi interviewer merupakan orang-orang yg bener-bener qualified di bidang yg akan kita tekuni. Dan, yang nambah nervous ternyata yang interview ada 7 orang!!!!! 4 orang Jerman dan 3 orang Indonesia!! Beuh!!! Interview dilakukan full in English, dan saya menjawab dengan belepotan. Bukan belepotan karena nervous, tapi memang belepotan karena gak ahli bahasa inggris.. :p

Pertanyaan yang diajukan bisa dibagi dalam poin2 berikut :

  • Riset yang akan dilakukan, baik latar belakang, pengembangan, metodologi, dan semua seluk beluk riset yang akan kita lakukan.
  • Kesiapan kita hidup di Jerman, baik mental, akademis, dll
  • Rencana ke depan setelah lulus
  • Kenapa memilih Jerman, dan apa manfaat studi untuk negara kita dan negara Jerman.

Seperti yg sudah kita tahu, kebanyakan orang Jerman itu keras, dalam artian sangat disiplin dan profesional. Jadi saat ditanyai oleh interviewer dari Jerman rasanya… indescribable!! Untungnya masih ada interviewer dari Indonesia yang agak melumerkan suasana.. 😀 pfft. Interview berjalan kira-kira 60-70 menit tanpa terasa. Moderator wawancara mengatakan pengumuman akan dilakukan lewat email maksimal 2 minggu setelah wawancara.

. . .

Minggu liburan, saya habiskan untuk naik gunung Merbabu. Dan ternyata sesaat setelah turun gunung dan dapat sinyal, saya langsung dapat kabar dari teman kalau dia sudah terima email pengumuman kalau lolos dan dapat beasiswa IGSP!! Karena keadaan alam yang tidak memungkinkan (sinyal lemah banget), saya tidak bisa membuka email. Akhirnya saya menghubungi saudara di rumah dan meminta tolong untuk dibukakan email. Dan ternyata saya tidak dapat email, yang kemungkinan besar saya tidak lolos beasiswa IGSP. Mencoba menenangkan diri dan pulang ke kota kelahiran.

. . .

Sampai di rumah, saya mengecek email berkali-kali dan tetap tidak ada balasan. Keringat dingin mulai keluar, khawatir tidak lolos semakin besar. Akhirnya saya memutuskan mengirim email ke CP untuk IGSP dan beliau membalas yg kira-kira isinya:

“untuk yang lolos kemungkinan besar sudah menerima email semua tetapi karen ini belum sampai 2 minggu setelah wawancara maka ditunggu saja.”

Deg!!! Mbak-mbak CP ini gak menentramkan hati malah bikin dag dig dug. Setelah tiba hari yang ditentukan saya menelepon CP tsb dan mendapat konfirmasi bahwa kemungkinan sangat besar tidak lolos dan disuruh untuk menunggu hasil yang diumumkan via web DIKTI. Pfft.. semakin galau..

Tiap hari buka web DIKTI. Dan pada hari itu (lupa tanggal dan harinya.. hehe), pengumuman hasil seleksi wawancara IGSP keluar. Downloading pdf…. Dan….

Jeng jeng jeeeeengg….

Tidak ada nama saya disitu.. saya periksa berkali dan tetap gak nemu..

Dan akhirnya saya bingung, bingung hidup ini mau dibawa kemana.. (eak alay banget..)

…. Bersambung …

BERSEKOLAH DI EROPA: MIMPI YANG TIDAK PERNAH PUDAR

Penulis : Nova Resfita (LPDP-Jerman Awardee, S2 RWTH-Aachen University)

Tidak mudah memang untuk meraih sesuatu yang menurut kebanyakan orang hal itu tidak mungkin. Butuh kerja keras, ketekunan dan keyakinan yang teramat sangat tinggi untuk mewujudkannya. Salah satunya mimpi untuk bersekolah dibenua biru, benua yang letaknya puluhan ribu kilometer dari tempat tinggal saya di salah satu desa di Sumatera Barat. Mimpi untuk bersekolah disini pun telah ada sejak duduk dibangku SMA, apalagi saat kuliah S1, banyak senior dan dosen saya yang juga bersekolah disini membuat saya ingin mengikuti jejak mereka. Novel Andrea Hirata pun sukses menghipnotis saya untuk terus percaya apa yang saya impikan akan tercapai.

Saya masih ingat dengan jelas 3 tahun lalu ketika baru balik dari benua putih, saat itu semangat saya untuk terus bermimpi tinggi terus mengalir, bahkan tidak sedikit yang menertawakan keinginan konyol saya itu. Memang benar, sekali keluar negeri dengan beasiswa dan untuk sekolah, pasti akan ketagihan untuk mengulanginya lagi. Itulah yang saya rasakan saat kembali ke tanah air. Saat itu saya telah duduk di semester 9, semester bonus bagi anak-anak S1 yang standar lama belajarnya cuma 8 semester. Tapi tak apalah, kesempatan langka yang menjadikan saya tidak bisa lulus tepat waktu, saya pun tetap bersyukur. Keinginan saya untuk melanjutkan pendidikan S2 pun semakin tinggi. Saat itu akhir tahun 2011, sembari mengerjakan Tugas Akhir, saya tetap browsing mencari kesempatan beasiswa S2. Target utama saya Beasiswa Erasmus Mundus (EM), beasiswa Uni Eropa yang sangat terkenal itu, dan juga beasiswa ke USA, Fulbright. Beasiswa Non Degree pun saya coba, saat itu yang saya coba Beasiswa CCIP, beasiswa untuk belajar 1 tahun di salah satu College University di USA. Di akhir tahun 2011 dan awal 2012  inilah saya mencoba ketiga jenis beasiswa ini, Beasiswa EM yang namanya MERIT (jurusan Information and Communication Technologies), Beasiswa Fulbright dengan Jurusan Telecommunication Engineering dan Beasiswa CCIP dengan jurusan Jurnalistik (jurusannya berbeda sekali dengan jurusan S1 saya karena beasiswa ini mensyaratkan untuk memilih jurusan yang berbeda). Saya pun gagal mendapatkan ketiga beasiswa ini, ya namanya juga belum jodoh. Sedih, itu pasti namun saya belajar untuk menerima semuanya, toh saya sebelumnya jarang gagal mendapatkan apa yang saya impikan, mungkin inilah waktunya untuk belajar merasakan kegagalan. Lagipula,  saat itu saya juga sedang mempersiapkan sidang Tugas Akhir dan wisuda.

Bulan Mei 2012, saya wisuda, akhirnya bisa mendapatkan gelar S1 setelah penantian panjang, rencana memburu beasiswa S2 pun semakin mantap. Bahkan saya menolak untuk bekerja di perusahaaan seperti teman-teman saya kebanyakan. Tawaran untuk sekolah S2 di dalam negeri pun saya tolak juga. Entah kenapa, saya ingin melanjutkan pendidikan di luar negeri, bukan berarti saya merendahkan kualitas pendidikan di dalam negeri, tapi mungkin saya pernah merasakan bagaimana kuliah di luar negeri itu dan menurut saya kondisinya lebih baik dari beberapa kampus di dalam negeri. Terkesan sombong memang, tapi saya tidak mau mengerjakan sesuatu yang saya tidak suka, saya ingin menjadi dosen dan ingin bersekolah diluar negeri, keinginan yang cukup muluk dan tidak semua orang bisa mengerti keinginan saya itu. Banyak yang berpendapat saya itu menyia-nyiakan kesempatan, lulus dengan nilai yang baik tapi kerjaannya jadi pengangguran. Well, sebenarnya tidak 100% menganggur, saat itu saya sibuk memperbaiki bahasa Inggris saya dan meningkatkan skor TOEFL saya, saya juga mengajar les bahasa Inggris bagi anak-anak SD disalah satu lembaga pendidikan private. Betul-betul menyedihkan, itulah tanggapan yang saya dapatkan, tapi tetap saja, saya senang melakukan semua itu selama saya masih berada dijalur yang benar dan menuntun saya untuk bisa sekolah ke luar negeri.

Berbekal sisa beasiswa yang saya simpan selama beberapa bulan, saya pun mendaftar les TOEFL disalah satu lembaga TOEFL di kota Padang. Syukurnya karena sebelumnya saya pernah les disana, jadi saya mendapat diskon 50% untuk biaya les, belum lagi biaya tes TOEFL yang harus saya keluarkan setiap bulan demi mencapai target minimal 580. Saya pun tidak ingin merepotkan kedua orang tua karena keputusan saya untuk tidak bekerja secara tetap. Tiga bulan berturut-turut saya mengikuti tes TOEFL, belajar tiap hari seperti anak-anak SMA yang mau ujian UN. Tapi sayang, skor bulan pertama (Oktober 2012) lebih rendah dibanding skor saya bulan desember 2011. Saya tidak patah semangat, bulan November pun saya mengikuti tes itu lagi, skornya jauh lebih baik namun masih rendah dari 580. Andaikan beasiswa EM itu mensyaratkan skor 550, mungkin saya sudah masuk zona aman. Ketika itu pun berbagai macam beasiswa EM membuka pendaftaran baru untuk tahun ajaran 2013-2014. Keinginan saya semakin menggebu-gebu untuk mendapatkan beasiswa tersebut. Namun sayang, saat itu skor tertinggi TOEFL saya masih skor tahun 2011, karena skor bulan November baru diumumkan diawal Desember. Bermodalkan niat nekad, saya pun mendaftar beasiswa EM jurusan Biomedical Engineering, jurusan yang sedang saya pelajari sekarang. Apakah saya mendapatkan beasiswa EM ini, well ceritanya masih panjang. Karena saya tahu beasiswa ini membolehkan pendaftaran 3 jurusan yang berbeda di Action 1, saya pun mencoba mendaftar 2 jurusan lain yang masih ada kaitannya dengan Jurusan Teknik Elektro,  jurusan itu Photonic Engineering dan jurusan EM yang gagal tahun lalu, MERIT. Untuk 2 jurusan ini  saya menggunakan skor TOEFL tertinggi yang didapatkan di bulan desember 2012.

Menanti, itulah pekerjaan saya di awal 2013 sembari berusaha mencari pekerjaan lain karena saat itu kontrak saya mengajar les telah habis. Untunglah ada 2 dosen saya yang ingin belajar TOEFL dari saya, jujur perasaan saya cukup random, merasa tidak enak karena beliau berdua dosen saya, merasa senang karena beliau mempercayai saya untuk mengajar. Saya yakin sekali cara mengajar saya masih parah sekali, dan berharap semoga beliau berdua tidak marah kepada saya. Hmm, kembali ke kabar beasiswa S2 itu, saat itu saya juga mendaftar beasiswa EM Action 2 dan (lagi) beasiswa Fulbright. Terdengar rakus akan beasiswa, tapi sebenarnya itu baik. Menurut saya, semakin banyak mendaftar, semakin besar peluang untuk lulus.

Menunggu itu bisa dikatakan pekerjaan yang membosankan, tapi saya berusaha untuk tetap percaya dan berdoa agar bisa lulus disalah satu beasiswa ini. Kabar baik pun datang tanggal 19 Januari 2013. Satu email dr koordinator EM jurusan Biomedical Engineering menyampaikan saya diundang untuk wawancara. Perasaan senang yang bercampur aduk, “Kenapa saya bisa lulus ya? Bukankah skor TOEFL saya jauh rendah dibawah standar, pun juga apakah ini tidak salah kirim email… dan sejenisnya”. Walaupun masih merasa aneh, saya sangat senang, satu langkah terlewati. Wawancara pun dilakukan dan saatnya saya menunggu lagi, sembari berdoa agar diberikan yang terbaik. Bulan Februari dan Maret 2013 mungkin merupakan waktu terburuk saya, waktu dimana semua harapan saya seolah-olah sirna. Satu persatu pengumuman beasiswa masuk ke Inbox di email, menyatakan bahwa saya tidak lulus. Beasiswa yang sangat saya harapkan, EM jurusan Biomedical Engineering, saya gagal mendapatkan beasiswanya namun saya masih berkesempatan untuk kuliah dengan biaya sendiri, dan hal ini pun terjadi untuk 2 jurusan EM action 1 lainnya serta 1 jurusan di EM action 2. Ya Allah, saya benar-benar galau tingkat akut, sedih tak tertahankan, bahkan orang tua saya pun mulai khawatir dengan keadaan saya. Bagaimana tidak, 4 minggu berturut-turut pengumuman itu disampaikan, belum habis sedih saya akan kegagalan pertama, berita kegagalan kedua, ketiga dan keempat pun datang. Rasanya saya sudah tidak bisa menghitung berapa banyak kegagalan yang telah saya dapatkan. Saya menangis hampir tiap malam dan murung di siang hari, bahkan makan pun tidak teratur, semuanya berasa seakan-akan saya tidak di ridhoi untuk melanjutkan sekolah. Saya benar-benar berada di roda yang paling bawah dan saat itu rodanya berjalan sangat lambat, tidak sedikit yang mencemooh serta mengaitkan kebodohan saya untuk tidak memilih bekerja. Mungkin, jika saya tidak beragama, saya sudah gila bahkan sudah bunuh diri. Alhamdulillah, saya masih rajin shalat dan memohon kepada Sang Pencipta akan jalan terbaik. Perlahan tapi pasti, suasana hati saya berubah, saya mulai mengkaji kekurangan saya selama pendaftaran beasiswa S2, dan saat itu pun pengumuman lulus administrasi penerimaan Pertamina diberitahukan. Di awal februari, saya cuma iseng mendaftar, dan ternyata lulus tahap 1, dan seleksi tahap 2 nya psikotes di Jakarta. Alih-alih menghilangkan stress, saya pun berani berangkat ke Jakarta untuk mengikuti tes tersebut, tapi aneh bukan kepalang, saya bukannya berdoa agar lulus, malah saya berdoa agar tidak lulus. Aneh memang, tapi saat itu saya merasa Pertamina itu bukan tempat saya mengabdi, saya merasa tidak nyaman. Rasa sedih saya saat itu masih cukup tinggi, walaupun saya telah berusaha bersikap rasional akan keadaan. Saya benar-benar membutuhkan dorongan semangat dari teman-teman, tapi sayang yang benar-benar teman lah yang bisa mengerti keadaan saya. Syukurlah selama saya di Jakarta, saya bertemu teman-teman lama, termasuk bertemu para staf IIEF yang dulu membantu saya serta teman-teman IELSP dari keberangkatan hingga kepulangan dari USA. Bahkan saat itu saya diajak beberapa teman IELSP untuk mengikuti konferensi alumni di Jogjakarta. Saya pun menyetujuinya, walaupun saat itu sisa tabungan saya menipis, dan untuk pertama kalinya saya sendirian traveling ke Jogja dengan kereta. Ternyata keputusan saya untuk kesana itu benar-benar ampuh, saya berada diantara orang-orang yang selalu bersemangat tinggi untuk menggapai mimpi-mimpinya, orang-orang yang selaluencourage teman-temannya, saya berasa “hidup” lagi. Dan saat itu pun saya kembali ingat satu jenis beasiswa yang disampaikan oleh junior saya, Beasiswa LPDP.

Bagi saya saat itu, beasiswa LPDP sangat terdengar asing, karena sebelumnya saya tidak pernah mendengar beasiswa ini. Secercah harapan pun muncul karena saat itu pihak EM jurusan Biomedical Engineering mau memberikan LoA dan partial waiver bagi saya. Pun juga saat itu Beasiswa Dikti Luar Negeri sedang dibuka. Sementara itu, 2 beasiswa EM action 1 yg gagal juga menjanjikan akan memberikan LoA kepada saya. “Siapa cepat, dia yang dapat”, itulah prinsip yang saya gunakan saat itu karena saya suka dengan ketiga jurusan itu, namun jurusan Biomedical Engineering ini seperti harapan baru bagi saya dan negara saya, mengingat jurusan ini masih langka di Indonesia. Pun juga, Jurusan ini lebih cepat respon dengan keadaan saya saat itu yang tetap ingin mengikuti program namun tanpa beasiswa EM. Sang koordinator program pun amat sangat ramah dan mau menolong saya, beliau berusaha agar saya mendapatkan partial waiver yang cukup besar dan beliau juga mengeluarkan LoA saya jauh lebih awal dibanding tanggal resmi dikeluarkan LoA oleh pihak EM. Semuanya karena saya menjelaskan bagaimana keadaan saya, termasuk pendafataran beasiswa LPDP dan Dikti yang deadline-nya sudah sangat mepet. Saya pun mendaftar beasiswa LPDP secepatnya, mulai dr penulisan beberapa essayhingga pengisian biodata secara online. Penulisan essay pun benar-benar mepet sehingga saya menuliskan 2 diantaranya menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan satunya lagi dengan bahasa Inggris karena kebetulan essay yang satu ini hampir sama dengan essay untuk mendaftar beasiswa EM dan Fulbright. Saya pun tidak menulis muluk-muluk rencana mengubah Indonesia dan sejenisnya, karena saya tahu pasti semua orang akan menuliskan hal yang sama. Yang saya tuliskan bagaimana dan apa saja rencana saya setelah lulus S2, serta saya menuliskan secara jujur apa adanya. Bahkan kesalahan fatal yang saya lalukan dulu pun saya tulis, sama halnya ketika saya menulis essay pendaftaran beasiswa IELSP dulu. Singkat cerita, tanggal 19 Mei 2013 pengumuman seleksi berkas pun keluar. Alhamdulillah, saya begitu senang karena (lagi) diberi kesempatan untuk mendapatkan mimpi itu. Serasa mimpi itu semakin dekat dengan kenyataan, namun saya cepat-cepat beristigfar, takut akan gagal lagi. Sementara itu saya cari di Googlesalah satu nama penerima beasiswa EM ini yg juga anak Indonesia dan mencoba menghubunginya. Alhamdulillah lagi, teman yang satu ini jadi pengingat saya akan kekurangan saya selama mendaftar beasiswa yang menyebabkan kegagalan. Saya pun merasa senang karena mendapat pembimbing baru. Mulai dari persiapan untuk wawancara serta niat dan doa yang harus ditingkatkan. Lagi, bermodalkan nekad, saya ke Jakarta untuk mengikuti tes wawancara LPDP, saya menulis apa saja prediksi pertanyaan yang akan muncul dan bagaimana cara menjawab dengan baik. Saya juga tidak lupa tips yang disampaikan teman saya itu, “rajin sedekah, rajin shalat dhuha, tahajud dan hajat serta rajin puasa sunah”. Tips yang benar-benar jarang saya lalukan sebelumnya, ya mungkin itu salah satu penyebab saya gagal berkali-kali.

Tanggal 10 Juni 2013 saya berangkat ke Gedung Departemen Keuangan, tempat dimana wawancara dilaksanakan. Syukurlah saya bertemu teman-teman baru yang saling mendukung satu sama lainnya, beda sekali dengan pengalaman saya wawancara IELSP dulu. Saya berharap bisa diwawancara pagi hari, namun giliran yang saya dapat sore hari, dan saya salah satu peserta terakhir yang wawancara hari itu. Perasaan gugup yang cukup tinggi ketika memasuki ruangan wawancara, ketika itu saya mendapat giliran wawancara di panelis 7, beberapa orang reviewer telah duduk dan siap menyambut saya. Bismillah, kata saya dalam hati sembari berdoa demi kelancaran beasiswa. Saya cukup kaget karena reviewer memulai wawancara dengan bahasa Indonesia, sedangkan saya telah mempersiapkan semua jawaban dengan bahasa inggris. Karena reviewer yg memulai berbahasa Indonesia, saya pun menjawabnya dengan bahasa Indonesia, dan anehnya lagi cuma 15 menit, sedangkan informasi yang saya dapatkan wawancaranya selama 30-45 menit. Muncullah berbagai spekulasi, salah satunya saya tidak akan lulus. Tapi untung pikiran ini cepat-cepat saya buang karena selama wawancara saya bisa menjawab setiap pertanyaan dengan baik dan benar dan saya pun tidak tergesa-gesa seperti saat wawancara beasiswa EM dulu.

Nova Resfita di depan stasiun Bruxelles Central
Nova Resfita di depan stasiun Bruxelles Central

Pengumuman beasiswa itu tanggal 17 Juni 2013, menjelang pengumuman itu, saya melakukan tips-tips yang disampaikan teman saya itu sambil mengurus SKCK. Entah kenapa, ada keinginan kuat untuk mengurus SKCK walaupun saat itu sangat tidak jelas status saya, lulus atau tidaknya beasiswa ini. Ketika tanggal itu datang, saya tidak ingin membuka website tersebut untuk melihat kondisi aplikasi saya, takut kecewa lagi walaupun sebenarnya saya menaruh kepercayaan yang cukup tinggi akan kelulusan beasiswa yang satu ini. Sore, sekitar pukul 5, diatas angkutan kota (saat itu masih di Jakarta), senior saya menelepon, mengabari bahwa saya lulus beasiswa LPDP. Mata saya berasa panas dan tanpa sadar saya menangis dan itu diatas angkot, saya masih ingat ekspresi orang-orang diatas angkot yang keheranan melihat saya. Seakan tidak percaya, saya berulang-ulang bertanya kepada senior saya itu akan kebenaran beritanya, terbesit didalam hati rasa lega dan syukur yg luar biasa akan diberikan kesempatan untuk belajar di negeri impian saya. Malam itu  saya pun mengecek website LPDP, dan ternyata benar, ada nama saya tertera di daftar calon penerima beasiswa. Namun, belum keputusan akhir, saya harus mengikuti Program Kepemimpinan selama 11 hari, barulah status “calon” tersebut akan dicabut. Dalam hati, saya tetap bersyukur, setidaknya 75% kesempatan lulus sudah ditangan walaupun kejadian yang tidak diinginkanpun bisa saja terjadi. Sementara itu, pengumuman seleksi berkas beasiswa DIKTI juga keluar, senang karena nama saya tertera di daftar lulus seleksi, heran karena saya mendapat daerah wawancara di Makassar, sedangkan saya mendaftar dari Padang. Saya pun datang ke gedung DIKTI untuk memohon pemindahan tempat wawancara. Syukurlah disetujui dan saya mengikuti wawancara beasiswa DIKTI 2 hari sebelum mengikuti Program Kepemimpinan. Lagi, bukannya bersikap rakus, saya hanya tidak ingin menyesal membiarkan kesempatan yang telah diberikan kepada saya setelah berbagai kegagalan yang saya alami. Saya hanya ingin melakukan yang terbaik tanpa ada penyesalan.

Program Kepemimpinan pun berakhir, dan hari terakhir itu pengumuman kelulusan calon penerima beasiswa. Alhamdulillah, saya beserta teman-teman lain lulus Program Kepemimpinan dan itu artinya kata “calon penerima” berubah menjadi “penerima”. Syukur yang begitu amat dalam atas segala kesempatan yang diberikan, saya pun bergegas menyiapkan persyaratan pengajuan visa dan keberangkatan ke Eropa.

Saya selalu ingat, bagaimanapun kita berusaha, jika tidak diikuti dengan doa, percuma saja. Karena apapun yang terjadi ada campur tangan Yang Maha Kuasa. Pun juga, dari pengalaman ini saya belajar untuk tidak cepat putus asa, mungkin jika saya berhenti saat itu, di waktu kegagalan-kegalan yang datang silih berganti, tentunya saya tidak akan pernah sampai disini. Memang butuh mental yang kuat agar apa yang diinginkan bisa dicapai, sesulit apapun itu. Kata orang tua saya, di dunia ini yang tidak mungkin itu menghidupi orang yang telah meninggal, jadi selama apa yang diimpikan masih bisa dirasionalisasikan, Insya Allah bisa didapat. Pesan teman-teman saya “Dream it, Fight it, Win it”. Nothing is impossible if you believe, try and try then pray for that.

Bersyukur kepada Allah adalah hal yang mutlak bagi saya, saya juga bersyukur karena memiliki orang tua yang mengerti anaknya, walau sebenarnya beliau berdua tidak seberuntung saya dibidang pendidikan. Orang tua yang selalu mendukung tindakan anaknya yang menurut mereka itu berguna bagi masa depan anaknya. Saya juga ingin berterima kasih kepada teman-teman yang selalu mendukung saya baik ketika senang maupun susah, teman-teman yang selalu sabar mendengar celoteh kegagalan saya serta memberi nasehat dan saran. Serta teman-teman yang selalu mengejek saya, karena dari situ saya belajar untuk lebih kuat dan lebih termotivasi.

Dream Big, and Fight For It !
Dream Big, and Fight For It !

Semoga tulisan ini bisa menginspirasi teman-teman pembaca. Ingat, jangan ragu untuk meraih mimpi dan cita-cita.

Photo credit: All pictures were taken by the writer, Nova Resfita.

 

Originally post : indonesiamengglobal.com