Apa itu Culinaria Festo? Culinaria Festo adalah salah satu acara Internasional yang diadakan oleh Departemen Internasional Universitas Bonn (Jerman), yang dilaksanakan pada tahun lalu, tepatnya tanggal 15 Mei 2014 pukul 15.30 CET di Mensa Nassestrasse. Acara ini dimanfaatkan untuk memperkenalkan kuliner khas dari berbagai negara. Akan tetapi, untuk mengikuti kegiatan ini tidaklah mudah, karena para peserta harus mengikuti proses seleksi. Para peserta terlebih dahulu harus mengajukan beberapa menu sejak tanggal 28 Maret 2014, kemudian Chef akan menyeleksi seluruh menu. Pertimbangan pemilihan menu tidak hanya didasarkan pada ketersediaan bahan di Jerman dan juga kandungan nutrisinya, akan tetapi menu tersebut harus sesuai dengan lidah para pengunjung Internasional yang didominasi oleh orang-orang Eropa. Contohnya, menu makanan yang disajikan tidak boleh pedas. Selanjutnya apabila terseleksi, maka peserta akan dihubungi oleh pihak panitia yang kemudian harus mengikuti beberapa kali pertemuan untuk mendapatkan keterangan mengenai prosedur yang akan dilaksakan pada saat kegiatan. Pada tanggal 15 Mei 2014, peserta diminta datang pukul 13.00 CET untuk coaching penggunaan dapur di Mensa Nassestrasse. Para peserta wajib menaati segala protokol yang diterapkan di dapur tersebut, misalnya menggunakan apron, penutup kepala, mencuci tangan hingga bersih, hingga yang paling penting adalah peserta harus dalam keadaan sehat. Adapun peserta yang lolos seleksi adalah dari Ghana, Yunani, Honduras, Indonesia, Iran, Pakistan, Polandia, Vietnam dan Turki.
Pada acara Internasional tersebut, 3 pelajar Indonesia berhasil membawakan salah satu menu andalan yakni Tempe Mendoan. 3 pelajar Indonesia tersebut adalah Risma Rizkia Nurdianti, Mira Maisura dan Monica Santosa. Risma Rizkia Nurdianti adalah mahasiswi penerima Beasiswa LPDP (Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan) tahun 2013 program ARTS (Agricultural Sciences and Resources Management in the Tropics and Subtropics) Universitas Bonn, yang juga pernah menerima Beasiswa Unggulan tahun 2011 dan Beasiswa PPA tahun 2007 (Prestasi Peningkatan Akademik). Mira Maisura adalah mahasiswi penerima Aceh Scholarship for Excellent tahun 2011 yang disalurkan oleh DAAD (Deutscher Akademischer Austausch Dienst / German Academic Exchange Service) Jerman pada program Universitas Bonn, sedangkan Monica Santosa adalah mahasiswi penerima Beasiswa DAAD Development-Related Postgraduate Courses tahun 2012 program ARTS Universitas Bonn. Meskipun disibukkan dengan kegiatan rutin akademik dan aktivitas organisasi Internasional lainnya, memasak merupakan hobi yang digemari 3 pelajar Indonesia tersebut.
Berawal dari hobi memasak hingga bisa menyajikan menu Tempe Mendoan di ajang Internasional, yang juga diliput media cetak dan elektronik setempat, merupakan kebanggaan yang luar biasa bagi 3 pelajar Indonesia tersebut. Di Indonesia, Tempe Mendoan adalah cemilan biasa, namun dalam acara tersebut Tempe Mendoan menjadi primadona. Tempe Mendoan yang disajikan sangat diapresiasi para pengunjung yang datang, terbukti dengan ludesnya 1.300 keping Tempe Mendoan hanya dalam waktu 15 menit. Menu ini menjadi favorit, karena sangat digemari para Vegan (orang-orang yang mengikuti pola hidup sehat tanpa memakan produk ternak sama sekali). Akan tetapi, pujian tidak hanya datang dari para pengunjung, juga dari para Chef yang bertugas saat itu dan seluruh awak media yang meliput acara Culinaria Festo.
Semoga tidak hanya Rendang, Sate, Mie Goreng, Nasi Goreng atau Tempe Mendoan saja yang dikenal dunia, akan tetapi segala hal yang berkaitan dengan budaya Indonesia lainnya. Satu hal yang juga tidak kalah penting, bahwa pelajar Indonesia yang tersebar di seluruh dunia bukan hanya pelajar yang hanya menuntut ilmu dan mengejar mimpinya semata, tetapi di pundaknya pula nama Indonesia dijunjung dan dibanggakan keberadaannya. Meski kini kami tidak di Indonesia, tapi Indonesia sedetikpun tak akan pernah terlupa! MERDEKA!!
Penulis : Nova Resfita (LPDP-Jerman Awardee, S2 RWTH-Aachen University)
Tidak mudah memang untuk meraih sesuatu yang menurut kebanyakan orang hal itu tidak mungkin. Butuh kerja keras, ketekunan dan keyakinan yang teramat sangat tinggi untuk mewujudkannya. Salah satunya mimpi untuk bersekolah dibenua biru, benua yang letaknya puluhan ribu kilometer dari tempat tinggal saya di salah satu desa di Sumatera Barat. Mimpi untuk bersekolah disini pun telah ada sejak duduk dibangku SMA, apalagi saat kuliah S1, banyak senior dan dosen saya yang juga bersekolah disini membuat saya ingin mengikuti jejak mereka. Novel Andrea Hirata pun sukses menghipnotis saya untuk terus percaya apa yang saya impikan akan tercapai.
Saya masih ingat dengan jelas 3 tahun lalu ketika baru balik dari benua putih, saat itu semangat saya untuk terus bermimpi tinggi terus mengalir, bahkan tidak sedikit yang menertawakan keinginan konyol saya itu. Memang benar, sekali keluar negeri dengan beasiswa dan untuk sekolah, pasti akan ketagihan untuk mengulanginya lagi. Itulah yang saya rasakan saat kembali ke tanah air. Saat itu saya telah duduk di semester 9, semester bonus bagi anak-anak S1 yang standar lama belajarnya cuma 8 semester. Tapi tak apalah, kesempatan langka yang menjadikan saya tidak bisa lulus tepat waktu, saya pun tetap bersyukur. Keinginan saya untuk melanjutkan pendidikan S2 pun semakin tinggi. Saat itu akhir tahun 2011, sembari mengerjakan Tugas Akhir, saya tetap browsing mencari kesempatan beasiswa S2. Target utama saya Beasiswa Erasmus Mundus (EM), beasiswa Uni Eropa yang sangat terkenal itu, dan juga beasiswa ke USA, Fulbright. Beasiswa Non Degree pun saya coba, saat itu yang saya coba Beasiswa CCIP, beasiswa untuk belajar 1 tahun di salah satu College University di USA. Di akhir tahun 2011 dan awal 2012 inilah saya mencoba ketiga jenis beasiswa ini, Beasiswa EM yang namanya MERIT (jurusan Information and Communication Technologies), Beasiswa Fulbright dengan Jurusan Telecommunication Engineering dan Beasiswa CCIP dengan jurusan Jurnalistik (jurusannya berbeda sekali dengan jurusan S1 saya karena beasiswa ini mensyaratkan untuk memilih jurusan yang berbeda). Saya pun gagal mendapatkan ketiga beasiswa ini, ya namanya juga belum jodoh. Sedih, itu pasti namun saya belajar untuk menerima semuanya, toh saya sebelumnya jarang gagal mendapatkan apa yang saya impikan, mungkin inilah waktunya untuk belajar merasakan kegagalan. Lagipula, saat itu saya juga sedang mempersiapkan sidang Tugas Akhir dan wisuda.
Bulan Mei 2012, saya wisuda, akhirnya bisa mendapatkan gelar S1 setelah penantian panjang, rencana memburu beasiswa S2 pun semakin mantap. Bahkan saya menolak untuk bekerja di perusahaaan seperti teman-teman saya kebanyakan. Tawaran untuk sekolah S2 di dalam negeri pun saya tolak juga. Entah kenapa, saya ingin melanjutkan pendidikan di luar negeri, bukan berarti saya merendahkan kualitas pendidikan di dalam negeri, tapi mungkin saya pernah merasakan bagaimana kuliah di luar negeri itu dan menurut saya kondisinya lebih baik dari beberapa kampus di dalam negeri. Terkesan sombong memang, tapi saya tidak mau mengerjakan sesuatu yang saya tidak suka, saya ingin menjadi dosen dan ingin bersekolah diluar negeri, keinginan yang cukup muluk dan tidak semua orang bisa mengerti keinginan saya itu. Banyak yang berpendapat saya itu menyia-nyiakan kesempatan, lulus dengan nilai yang baik tapi kerjaannya jadi pengangguran. Well, sebenarnya tidak 100% menganggur, saat itu saya sibuk memperbaiki bahasa Inggris saya dan meningkatkan skor TOEFL saya, saya juga mengajar les bahasa Inggris bagi anak-anak SD disalah satu lembaga pendidikan private. Betul-betul menyedihkan, itulah tanggapan yang saya dapatkan, tapi tetap saja, saya senang melakukan semua itu selama saya masih berada dijalur yang benar dan menuntun saya untuk bisa sekolah ke luar negeri.
Berbekal sisa beasiswa yang saya simpan selama beberapa bulan, saya pun mendaftar les TOEFL disalah satu lembaga TOEFL di kota Padang. Syukurnya karena sebelumnya saya pernah les disana, jadi saya mendapat diskon 50% untuk biaya les, belum lagi biaya tes TOEFL yang harus saya keluarkan setiap bulan demi mencapai target minimal 580. Saya pun tidak ingin merepotkan kedua orang tua karena keputusan saya untuk tidak bekerja secara tetap. Tiga bulan berturut-turut saya mengikuti tes TOEFL, belajar tiap hari seperti anak-anak SMA yang mau ujian UN. Tapi sayang, skor bulan pertama (Oktober 2012) lebih rendah dibanding skor saya bulan desember 2011. Saya tidak patah semangat, bulan November pun saya mengikuti tes itu lagi, skornya jauh lebih baik namun masih rendah dari 580. Andaikan beasiswa EM itu mensyaratkan skor 550, mungkin saya sudah masuk zona aman. Ketika itu pun berbagai macam beasiswa EM membuka pendaftaran baru untuk tahun ajaran 2013-2014. Keinginan saya semakin menggebu-gebu untuk mendapatkan beasiswa tersebut. Namun sayang, saat itu skor tertinggi TOEFL saya masih skor tahun 2011, karena skor bulan November baru diumumkan diawal Desember. Bermodalkan niat nekad, saya pun mendaftar beasiswa EM jurusan Biomedical Engineering, jurusan yang sedang saya pelajari sekarang. Apakah saya mendapatkan beasiswa EM ini, well ceritanya masih panjang. Karena saya tahu beasiswa ini membolehkan pendaftaran 3 jurusan yang berbeda di Action 1, saya pun mencoba mendaftar 2 jurusan lain yang masih ada kaitannya dengan Jurusan Teknik Elektro, jurusan itu Photonic Engineering dan jurusan EM yang gagal tahun lalu, MERIT. Untuk 2 jurusan ini saya menggunakan skor TOEFL tertinggi yang didapatkan di bulan desember 2012.
Menanti, itulah pekerjaan saya di awal 2013 sembari berusaha mencari pekerjaan lain karena saat itu kontrak saya mengajar les telah habis. Untunglah ada 2 dosen saya yang ingin belajar TOEFL dari saya, jujur perasaan saya cukup random, merasa tidak enak karena beliau berdua dosen saya, merasa senang karena beliau mempercayai saya untuk mengajar. Saya yakin sekali cara mengajar saya masih parah sekali, dan berharap semoga beliau berdua tidak marah kepada saya. Hmm, kembali ke kabar beasiswa S2 itu, saat itu saya juga mendaftar beasiswa EM Action 2 dan (lagi) beasiswa Fulbright. Terdengar rakus akan beasiswa, tapi sebenarnya itu baik. Menurut saya, semakin banyak mendaftar, semakin besar peluang untuk lulus.
Menunggu itu bisa dikatakan pekerjaan yang membosankan, tapi saya berusaha untuk tetap percaya dan berdoa agar bisa lulus disalah satu beasiswa ini. Kabar baik pun datang tanggal 19 Januari 2013. Satu email dr koordinator EM jurusan Biomedical Engineering menyampaikan saya diundang untuk wawancara. Perasaan senang yang bercampur aduk, “Kenapa saya bisa lulus ya? Bukankah skor TOEFL saya jauh rendah dibawah standar, pun juga apakah ini tidak salah kirim email… dan sejenisnya”. Walaupun masih merasa aneh, saya sangat senang, satu langkah terlewati. Wawancara pun dilakukan dan saatnya saya menunggu lagi, sembari berdoa agar diberikan yang terbaik. Bulan Februari dan Maret 2013 mungkin merupakan waktu terburuk saya, waktu dimana semua harapan saya seolah-olah sirna. Satu persatu pengumuman beasiswa masuk ke Inbox di email, menyatakan bahwa saya tidak lulus. Beasiswa yang sangat saya harapkan, EM jurusan Biomedical Engineering, saya gagal mendapatkan beasiswanya namun saya masih berkesempatan untuk kuliah dengan biaya sendiri, dan hal ini pun terjadi untuk 2 jurusan EM action 1 lainnya serta 1 jurusan di EM action 2. Ya Allah, saya benar-benar galau tingkat akut, sedih tak tertahankan, bahkan orang tua saya pun mulai khawatir dengan keadaan saya. Bagaimana tidak, 4 minggu berturut-turut pengumuman itu disampaikan, belum habis sedih saya akan kegagalan pertama, berita kegagalan kedua, ketiga dan keempat pun datang. Rasanya saya sudah tidak bisa menghitung berapa banyak kegagalan yang telah saya dapatkan. Saya menangis hampir tiap malam dan murung di siang hari, bahkan makan pun tidak teratur, semuanya berasa seakan-akan saya tidak di ridhoi untuk melanjutkan sekolah. Saya benar-benar berada di roda yang paling bawah dan saat itu rodanya berjalan sangat lambat, tidak sedikit yang mencemooh serta mengaitkan kebodohan saya untuk tidak memilih bekerja. Mungkin, jika saya tidak beragama, saya sudah gila bahkan sudah bunuh diri. Alhamdulillah, saya masih rajin shalat dan memohon kepada Sang Pencipta akan jalan terbaik. Perlahan tapi pasti, suasana hati saya berubah, saya mulai mengkaji kekurangan saya selama pendaftaran beasiswa S2, dan saat itu pun pengumuman lulus administrasi penerimaan Pertamina diberitahukan. Di awal februari, saya cuma iseng mendaftar, dan ternyata lulus tahap 1, dan seleksi tahap 2 nya psikotes di Jakarta. Alih-alih menghilangkan stress, saya pun berani berangkat ke Jakarta untuk mengikuti tes tersebut, tapi aneh bukan kepalang, saya bukannya berdoa agar lulus, malah saya berdoa agar tidak lulus. Aneh memang, tapi saat itu saya merasa Pertamina itu bukan tempat saya mengabdi, saya merasa tidak nyaman. Rasa sedih saya saat itu masih cukup tinggi, walaupun saya telah berusaha bersikap rasional akan keadaan. Saya benar-benar membutuhkan dorongan semangat dari teman-teman, tapi sayang yang benar-benar teman lah yang bisa mengerti keadaan saya. Syukurlah selama saya di Jakarta, saya bertemu teman-teman lama, termasuk bertemu para staf IIEF yang dulu membantu saya serta teman-teman IELSP dari keberangkatan hingga kepulangan dari USA. Bahkan saat itu saya diajak beberapa teman IELSP untuk mengikuti konferensi alumni di Jogjakarta. Saya pun menyetujuinya, walaupun saat itu sisa tabungan saya menipis, dan untuk pertama kalinya saya sendirian traveling ke Jogja dengan kereta. Ternyata keputusan saya untuk kesana itu benar-benar ampuh, saya berada diantara orang-orang yang selalu bersemangat tinggi untuk menggapai mimpi-mimpinya, orang-orang yang selaluencourage teman-temannya, saya berasa “hidup” lagi. Dan saat itu pun saya kembali ingat satu jenis beasiswa yang disampaikan oleh junior saya, Beasiswa LPDP.
Bagi saya saat itu, beasiswa LPDP sangat terdengar asing, karena sebelumnya saya tidak pernah mendengar beasiswa ini. Secercah harapan pun muncul karena saat itu pihak EM jurusan Biomedical Engineering mau memberikan LoA dan partial waiver bagi saya. Pun juga saat itu Beasiswa Dikti Luar Negeri sedang dibuka. Sementara itu, 2 beasiswa EM action 1 yg gagal juga menjanjikan akan memberikan LoA kepada saya. “Siapa cepat, dia yang dapat”, itulah prinsip yang saya gunakan saat itu karena saya suka dengan ketiga jurusan itu, namun jurusan Biomedical Engineering ini seperti harapan baru bagi saya dan negara saya, mengingat jurusan ini masih langka di Indonesia. Pun juga, Jurusan ini lebih cepat respon dengan keadaan saya saat itu yang tetap ingin mengikuti program namun tanpa beasiswa EM. Sang koordinator program pun amat sangat ramah dan mau menolong saya, beliau berusaha agar saya mendapatkan partial waiver yang cukup besar dan beliau juga mengeluarkan LoA saya jauh lebih awal dibanding tanggal resmi dikeluarkan LoA oleh pihak EM. Semuanya karena saya menjelaskan bagaimana keadaan saya, termasuk pendafataran beasiswa LPDP dan Dikti yang deadline-nya sudah sangat mepet. Saya pun mendaftar beasiswa LPDP secepatnya, mulai dr penulisan beberapa essayhingga pengisian biodata secara online. Penulisan essay pun benar-benar mepet sehingga saya menuliskan 2 diantaranya menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan satunya lagi dengan bahasa Inggris karena kebetulan essay yang satu ini hampir sama dengan essay untuk mendaftar beasiswa EM dan Fulbright. Saya pun tidak menulis muluk-muluk rencana mengubah Indonesia dan sejenisnya, karena saya tahu pasti semua orang akan menuliskan hal yang sama. Yang saya tuliskan bagaimana dan apa saja rencana saya setelah lulus S2, serta saya menuliskan secara jujur apa adanya. Bahkan kesalahan fatal yang saya lalukan dulu pun saya tulis, sama halnya ketika saya menulis essay pendaftaran beasiswa IELSP dulu. Singkat cerita, tanggal 19 Mei 2013 pengumuman seleksi berkas pun keluar. Alhamdulillah, saya begitu senang karena (lagi) diberi kesempatan untuk mendapatkan mimpi itu. Serasa mimpi itu semakin dekat dengan kenyataan, namun saya cepat-cepat beristigfar, takut akan gagal lagi. Sementara itu saya cari di Googlesalah satu nama penerima beasiswa EM ini yg juga anak Indonesia dan mencoba menghubunginya. Alhamdulillah lagi, teman yang satu ini jadi pengingat saya akan kekurangan saya selama mendaftar beasiswa yang menyebabkan kegagalan. Saya pun merasa senang karena mendapat pembimbing baru. Mulai dari persiapan untuk wawancara serta niat dan doa yang harus ditingkatkan. Lagi, bermodalkan nekad, saya ke Jakarta untuk mengikuti tes wawancara LPDP, saya menulis apa saja prediksi pertanyaan yang akan muncul dan bagaimana cara menjawab dengan baik. Saya juga tidak lupa tips yang disampaikan teman saya itu, “rajin sedekah, rajin shalat dhuha, tahajud dan hajat serta rajin puasa sunah”. Tips yang benar-benar jarang saya lalukan sebelumnya, ya mungkin itu salah satu penyebab saya gagal berkali-kali.
Tanggal 10 Juni 2013 saya berangkat ke Gedung Departemen Keuangan, tempat dimana wawancara dilaksanakan. Syukurlah saya bertemu teman-teman baru yang saling mendukung satu sama lainnya, beda sekali dengan pengalaman saya wawancara IELSP dulu. Saya berharap bisa diwawancara pagi hari, namun giliran yang saya dapat sore hari, dan saya salah satu peserta terakhir yang wawancara hari itu. Perasaan gugup yang cukup tinggi ketika memasuki ruangan wawancara, ketika itu saya mendapat giliran wawancara di panelis 7, beberapa orang reviewer telah duduk dan siap menyambut saya. Bismillah, kata saya dalam hati sembari berdoa demi kelancaran beasiswa. Saya cukup kaget karena reviewer memulai wawancara dengan bahasa Indonesia, sedangkan saya telah mempersiapkan semua jawaban dengan bahasa inggris. Karena reviewer yg memulai berbahasa Indonesia, saya pun menjawabnya dengan bahasa Indonesia, dan anehnya lagi cuma 15 menit, sedangkan informasi yang saya dapatkan wawancaranya selama 30-45 menit. Muncullah berbagai spekulasi, salah satunya saya tidak akan lulus. Tapi untung pikiran ini cepat-cepat saya buang karena selama wawancara saya bisa menjawab setiap pertanyaan dengan baik dan benar dan saya pun tidak tergesa-gesa seperti saat wawancara beasiswa EM dulu.
Pengumuman beasiswa itu tanggal 17 Juni 2013, menjelang pengumuman itu, saya melakukan tips-tips yang disampaikan teman saya itu sambil mengurus SKCK. Entah kenapa, ada keinginan kuat untuk mengurus SKCK walaupun saat itu sangat tidak jelas status saya, lulus atau tidaknya beasiswa ini. Ketika tanggal itu datang, saya tidak ingin membuka website tersebut untuk melihat kondisi aplikasi saya, takut kecewa lagi walaupun sebenarnya saya menaruh kepercayaan yang cukup tinggi akan kelulusan beasiswa yang satu ini. Sore, sekitar pukul 5, diatas angkutan kota (saat itu masih di Jakarta), senior saya menelepon, mengabari bahwa saya lulus beasiswa LPDP. Mata saya berasa panas dan tanpa sadar saya menangis dan itu diatas angkot, saya masih ingat ekspresi orang-orang diatas angkot yang keheranan melihat saya. Seakan tidak percaya, saya berulang-ulang bertanya kepada senior saya itu akan kebenaran beritanya, terbesit didalam hati rasa lega dan syukur yg luar biasa akan diberikan kesempatan untuk belajar di negeri impian saya. Malam itu saya pun mengecek website LPDP, dan ternyata benar, ada nama saya tertera di daftar calon penerima beasiswa. Namun, belum keputusan akhir, saya harus mengikuti Program Kepemimpinan selama 11 hari, barulah status “calon” tersebut akan dicabut. Dalam hati, saya tetap bersyukur, setidaknya 75% kesempatan lulus sudah ditangan walaupun kejadian yang tidak diinginkanpun bisa saja terjadi. Sementara itu, pengumuman seleksi berkas beasiswa DIKTI juga keluar, senang karena nama saya tertera di daftar lulus seleksi, heran karena saya mendapat daerah wawancara di Makassar, sedangkan saya mendaftar dari Padang. Saya pun datang ke gedung DIKTI untuk memohon pemindahan tempat wawancara. Syukurlah disetujui dan saya mengikuti wawancara beasiswa DIKTI 2 hari sebelum mengikuti Program Kepemimpinan. Lagi, bukannya bersikap rakus, saya hanya tidak ingin menyesal membiarkan kesempatan yang telah diberikan kepada saya setelah berbagai kegagalan yang saya alami. Saya hanya ingin melakukan yang terbaik tanpa ada penyesalan.
Program Kepemimpinan pun berakhir, dan hari terakhir itu pengumuman kelulusan calon penerima beasiswa. Alhamdulillah, saya beserta teman-teman lain lulus Program Kepemimpinan dan itu artinya kata “calon penerima” berubah menjadi “penerima”. Syukur yang begitu amat dalam atas segala kesempatan yang diberikan, saya pun bergegas menyiapkan persyaratan pengajuan visa dan keberangkatan ke Eropa.
Saya selalu ingat, bagaimanapun kita berusaha, jika tidak diikuti dengan doa, percuma saja. Karena apapun yang terjadi ada campur tangan Yang Maha Kuasa. Pun juga, dari pengalaman ini saya belajar untuk tidak cepat putus asa, mungkin jika saya berhenti saat itu, di waktu kegagalan-kegalan yang datang silih berganti, tentunya saya tidak akan pernah sampai disini. Memang butuh mental yang kuat agar apa yang diinginkan bisa dicapai, sesulit apapun itu. Kata orang tua saya, di dunia ini yang tidak mungkin itu menghidupi orang yang telah meninggal, jadi selama apa yang diimpikan masih bisa dirasionalisasikan, Insya Allah bisa didapat. Pesan teman-teman saya “Dream it, Fight it, Win it”. Nothing is impossible if you believe, try and try then pray for that.
Bersyukur kepada Allah adalah hal yang mutlak bagi saya, saya juga bersyukur karena memiliki orang tua yang mengerti anaknya, walau sebenarnya beliau berdua tidak seberuntung saya dibidang pendidikan. Orang tua yang selalu mendukung tindakan anaknya yang menurut mereka itu berguna bagi masa depan anaknya. Saya juga ingin berterima kasih kepada teman-teman yang selalu mendukung saya baik ketika senang maupun susah, teman-teman yang selalu sabar mendengar celoteh kegagalan saya serta memberi nasehat dan saran. Serta teman-teman yang selalu mengejek saya, karena dari situ saya belajar untuk lebih kuat dan lebih termotivasi.
Semoga tulisan ini bisa menginspirasi teman-teman pembaca. Ingat, jangan ragu untuk meraih mimpi dan cita-cita.
Photo credit: All pictures were taken by the writer, Nova Resfita.
„apa kalian tidak ingin menginjak tanah selain tanah yang kalian injak sekarang?“
(BASO, DALAM FILM NEGERI LIMA MENARA)
Mendapatkan invitation letter ataupun persetujuan dari seorang profesor sebagai supervisor kita merupakan salah satu syarat untuk menempuh pendidikan doktor (S3) di beberapa universitas di Jerman termasuk di RWTH-Aachen University. Invitation Lettertersebut menjadi kunci awal untuk mendaftar di universitas, tentu saja dibarengi dengan dokumen-dokumen lain seperti sertifikat bahasa asing (IELTS/TOEFL), ijazah dan transkrip nilai S1 dan S2 versi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (lebih bagus lagi kalau punya yang versi bahasa Jerman). Dengan adanya invitation lettertersebut (dan pertimbangan lain seperti Indeks Prestasi Kumulatif (IPk) S2, IELTS/TOEFL, dan lain-lain), pihak Universitas akan mengeluarkan Unconditional Letter of Acceptance (LoA). LoA inilah yang akan digunakan sebagai syarat mendapatkan beasiswa dari pemerintah Indonesia (DIKTI ataupun LPDP) ataupun dari lembaga lain seperti DAAD.
Membaca kisah mereka-mereka yang lebih dahulu menempuh pendidikan di tingkat doktor, dan mendengarkan cerita kawan-kawan yang sedang menempuh S3 di beberapa universitas luar negeri, mereka rata-rata menghubungi beberapa profesor di beberapa universitas dalam rentang waktu yang relatif sama, berharap dari beberapa profesor tersebut memberikan respons terhadap email yang dikirimkan. Seumpama memancing, dengan menyebarkan umpan yang banyak pada beberapa sungai, peluang untuk mendapatkan ikan jauh lebih besar dibandingkan dengan hanya melemparkan satu umpan di satu sungai.
Beda orang, tentulah beda konsep pemikirannya. Demikian juga dengan saya dalam hal mendapatkan invitation letter. Bagi saya, lebih baik fokus menghubungi satu profesor daripada harus berbagi konsentrasi menghubungi beberapa profesor. Apalagi, saya juga harus fokus dengan kegiatan Tridarma Perguruan Tinggi karena saya adalah dosen aktif di Jurusan Teknik Mesin Universitas Riau. Tentu saja saya harus mengetahui terlebih dahulu tentang si profesor secara detail sebelum menghubunginya. “Ibarat membeli kucing dalam karung”, pepatah ini yang saya coba hindari. Makanya prof yang saya tuju harus benar-benar saya pahami terlebih dahulu. Pertimbangan utama saya adalah bahwa riset yang akan saya lakukan selama S3 harus sesuai dengan riset yang sedang atau akan dikembangkan oleh si profesor, hal ini dapat dilihat dari CV si profesor dan riset yang sedang dilakukan di institutnya. Selain itu, kelengkapan alat uji yang ada di institut juga menjadi pertimbangan saya karena hal ini tentu akan berpengaruh pada saat saya menjalankan riset nantinya. Setelah memastikan bahwa si profesor „pantas“ menjadi supervisor saya, kemudian saya menghubungi beliau melalui email. Di email pertama, sebagai cover letter, selain mengenalkan diri secara ringkas tentang saya sesuai dengan CV yang saya lampirkan dan riset master yang telah saya lakukan, saya juga nyatakan bahwa saya berminat dengan salah satu research project yang ada di institut beliau. Informasi tentang IME (Institute of Machine Elements and Machine Design) RWTH-Aachen dapat dilihat di www.ime.rwth-aachen.de. Setelah beberapa kali “PING” akhirnya saya dapat balasan email dari si profesor. Jawabannya sangat sederhana :
Yup, umpan pancingan saya telah dimakan si profesor. Selanjutnya sudah dapat ditebak endingnya, dengan sedikit rayuan dan penjelasan bahwa pemerintah Indonesia punya program beasiswa untuk dosen yang memenuhi beberapa persyaratan tertentu, akhirnya luluh juga hati si prof untuk mengirimkan Invitation Letter ke alamat rumah di Pekanbaru.
Secara ringkas berikut tahapan-tahapan yang saya lakukan dalam mendapatkan LoA dari RWTH-Aachen University:
Pada daftar tersebut saya juga menuliskan dan mempelajari beberapa publikasi ilmiah (jurnal) si profesor. Tidak lupa detail tentang project yang sedang dikerjakan serta kelengkapan alat uji yang akan saya gunakan untuk penelitian S3 nantinya.
Dari daftar yang saya buat, saya memutuskan untuk memilih profesor di Institut Machine Elements and Machine Design (IME), RWTH-Aachen University. Pertimbangan utama saya adalah saya membaca di websitenya bahwa profesor sedang menjalankan project yang berhubungan dengan master thesis saya dan di institut ini mempunyai salah satu alat uji yang memang saya butuhkan untuk kesempurnaan penelitian yang telah saya lakukan sebelumnya.
Seperti yang saya tuliskan sebelumnya, dari awal saya sudah fokuskan hanya akan mengirim email ke satu profesor saja. Tujuan utamanya supaya bisa fokus „mengejar“ invitation letter dari si profesor dan tidak memberikan „harapan palsu“ kepada profesor-profesor yang lain. Jika kelak profesor tersebut menolak „pinangan“ saya, di saat itulah saya akan beralih ke profesor yang lain.
Pada saat menulis email ke profesor, saya memastikan apakah di cover lettertersebut saya telah “menjual diri” dengan menampilkan beberapa „keunggulan“ saya seperti:
Riset yang telah saya kerjakan pada saat S2 akan jauh bermanfaat bagi dunia industri jika dilanjutkan dengan menambahkan beberapa parameter serta divalidasi dengan pengujian di mana alat ujinya tersedia di institut si prof.
Beberapa publikasi ilmiah internasional yang saya hasilkan beserta link ke jurnal tersebut.
Beberapa hari setelah email pertama, saya mengirim ulang pesan tersebut ke profesor dengan tujuan beliau akan membalas email tadi. Selain itu, saya juga meneruskan pesan saya kepada sekretaris si profesor dan memintanya untuk menyampaikan email saya ke si profesor. Hal ini mungkin sedikit kurang sopan, tapi, namanya juga usaha, tidak ada masalah (menurut saya). Dan ini terbukti ampuh, dua hari setelah saya mengirim ulang pesan tersebut (saya mengirim ulang tanggal 3 Desember 2012), dan pada tanggal 5 Desember 2012 si profesor membalas email dengan pernyataan yang sedikit memberikan peluang bagi saya untuk mendapatkan Invitation Letter. Setelah beberapa kali berbalas email, akhirnya saya mendapatkan surat sakti dari profesor yang menyatakan beliau bersedia menjadi supervisor saya untuk mengarungi dunia perdoktoran di kampus RWTH-Aachen. Alhamdulillah.
Langkah selanjutnya adalah mendaftar secara online pada website kampus. Sebelumnya saya memastikan bahwa dokumen-dokumen yang dibutuhkan sudah dalam bentuk soft copy. Selesai pendaftaran secara online, pihak kampus juga meminta saya untuk mengirimkan berkas secara manual (via pos). Di sini saya bingung, mengingat waktu yang sempit plus biaya yang lumayan mahal (menurut saya), akhirnya saya menghubungi pihakInternational Office kampus dan menjelaskan bahwa saya belum bisa mengirimkan dokumen-dokumen tersebut dalam waktu dekat. Negosiasi yang sedikit alot menghasilkan kesimpulan, saya diizinkan untuk membawa langsung dokumen tersebut sesampainya saya di Aachen. Alhamdulillah, dan pihak kampus pun bersedia mengeluarkan Unconditional Letter of Acceptance (LoA) yang memang saya butuhkan untuk berburu beasiswa.
7 November 2013, jam 09.00 waktu Jerman, setelah melalui proses daftar ulang sebagai mahasiswa PhD di RWTH-Aachen, akhirnya saya resmi menjadiResearch Scientist di Institute of Machine Elements and Machine Design (IME). Profile saya bisa dilihat di sini.
Jika boleh memberikan sedikit saran untuk yang lagi memburu LoA:
1. Tidak ada salahnya mengirimkan email beberapa kali ke profesor yang sama untuk memastikan beliau telah membaca cover letter yang telah kita kirimkan.
2. Salah satu kendala profesor memilih kita sebagai mahasiswanya adalah beasiswa (financial support). Terus terang saja bahwa pemerintah kita punya banyak dana yang siap membiayai kuliah sampai selesai.
3. Menghubungi seorang profesor atau beberapa profesor dalam waktu yang bersamaan merupakan pilihan, silahkan memilih mana yang terbaik sesuai situasi dan kondisi kita saat ini.
4. Jangan lupa berdoa setelah semua usaha yang kita lakukan telah maksimal.
Semoga sukses buat kawan-kawan yang berburu LoA. Saya tunggu di RWTH-Aachen University.
Tanggal 31 Desember 2014 sore, kami (saya (Arif), Galih, Ruri, dan Rinda) berangkat dari studentenwohnheim ke Tuebingen Busbahnhof. Kami berencana “merayakan” tahun baru di Zürich yang konon kabarnya kembang apinya termasuk 10 besar termegah di dunia. Dari Tuebingen Ke Zürich kami naik Bus dengan ongkos cuman 7,5 Euro per orang dan estimasi waktu tempuh 2.5 jam, lumayan cepat dan murah buat kantong mahasiswa yg punya prinsip hidup hemat asal survive seperti kami (kecuali Rinda).. Hahaha
Setelah sampai di perbatasan Jerman-Swiss, bus berhenti untuk pengecekan visa para penumpang oleh petugas perbatasan. Estimasi 2.5 jam molor sampai sejam karena ada beberapa penumpang bermasalah, salah satunya si Ruri yg gak bawa visa… #duh. Alhasil Ruri diberi selembar kertas yg isinya menyatakan batas waktu berkunjung di Swiss maksimal 7 hari (kalau gak salah).. siapa juga yg mau lama2 di Swiss yg terkenal halmahera alias mahal.. hahaha.
Sampai di busbahnhof Zürich, kami jalan masuk ke Hauptbahnhof (Hbf) dengan tujuan mencari petunjuk dan kehangatan. Maklum winter lagi dingin-dinginnya. Di Hbf ternyata rame banget mungkin karena orang2 juga ingin menyaksikan kembang api di Zürich. Dari Hbf kami dapat peta gratis kemudian kami memutuskan untuk jalan menuju jembatan yang konon bakal jadi tempat yg strategis banget untuk menyaksikan kembang api. Perjalanan menuju jembatan, kami disuguhi tata lampu Zürich yg ajegile banget. Setelah sampai di jembatan, beuh!! ternyata orang2 ssudah pada ramai banget, semua berebut mencari tempat strategis. Kami pun dapat tempat yg strategis dan ada senderan (alias tepi jembatan.. haha). Lihat jam di hape, waktu masih nunjukin jam 22.00.. weeehh harus nunggu 2 jam lagi nih sambil kedinginan.. #pfft #maklumbackpacker.
Tahun baruan di Zürich perayaanya niat banget, sampai lampu2 digantung sepanjang jalan.
Salah satu gedung yg lampunya cukup meriah dibanding gedung lainnya.
Ngobrol ngalor ngidul gak jelas sambil ngiler liat orang2 pada bawa makanan plus minuman anget.. di saat itu kadang kami ngerasa cobaan hidup beraaaat banget… hahaha. Liat jam lagi, eh sudah hampir 24.00 nunggu sambil dag dig dug…..
Ramai dan penuh sesak di Jembatan. Orang2 juga sedang menunggu kembang api.
Liat jam lagi, eh sudah 24.00, nunggu lagi… kok gak keluar-keluar ya kembang apinya…
Liat jam lagi, ehhhh sudah 24.15.. mulai panik… dimana nih kembang apinya.. jangan2 Cuma hoax atau dibatalin karena krisis ekonomi, atau karena isu global warming nih makanya kembang apinya gak jadi.. # pfft
Dengan langkah gontai kami berempat jalan balik ke Hbf. Beberapa orang juga jalan ke Hbf, makanya kami yakin kembang apinya gak jadi… setelah 5 menit jalan dan ssudah agak jauh dari jembatan tadi.. tiba2 terdengar suara letusan2 kembang api yg rame banget.. DAR DOR DAR DOR!!! Wuuuiiihhhh meriah banget euy!!!!! Kami pun berlarian menuju jembatan lagi.. kemudian mengambil hape dan merekam momen istimewa ini.. gak peduli tangan kesakitan kayak ditusuk2 pisau akibat dinginnya minta ampun karena harus lepas sarung tangan, karena momen langka ini harus diabadikan.. 😀
Selama 30 menit kembang api bertebaran di langit, selama itu juga kami dibuat terkesima berulang-ulang… 😀
Setelah kemeriahan kembang api selesai… kami pun berjalan… berjalan sambil nyari ide mau tidur dimana… hahahaha.. maklum backpacker ala obdachlos. Dari awal sih kami berencana numpang tidur di masjid, tapi karena malam tahun baru jadi kemungkinan masjid ditutup dan baru dibuka pas subuh, jadi kami memutuskan nyari tempat istirahat buat selonjoran sambil nunggu subuh.
Setelah mikir sana sini sambil jalan, kami memutuskan untuk mencari semacam ATM yang mungkin berpenghangat… jalan sambil toleh kanan kiri, ngecek tiap tikungan, ada sih ATM tapi adanya ATM terbuka tanpa tutup penghangat. Sudah jalan jauh.. gak nemu2 tempat strategis buat selonjoran dan tidur.. mata sudah kriyep2, kaki sudah capek, badan sudah kedinginan.. Disitu kami kadang merasa ngenes.. hahaha
Akhirnya terbersit ide buat numpang istirahat sambil nyemil di Restoran fastfood tapi pasti sudah pada penuh. Akhirnya kamis memutuskan balik ke Hbf untuk mencari sedikit kehangatan.. hehehe
Sampai di Hbf, ternyata Hbf pada rame banget. Rame para muda mudi yg juga turis di Zürich untuk menyaksikan kembang api, yg juga mencari tempat buat selonjoran dan tidur, yg juga berburu kehangatan.. hahahaha… kamipun muter2 Hbf nyari tempat yg pewe buat istirahat. Setelah kurang lebih sejam muter2 gak jelas karena gak nemu tempat strategis, akhirnya kami memutuskan numpang duduk di kedai burger yg cukup ternama. Ealah, nasib, ternyata banyak orang pikirannya juga sama.. hahahaha… walhasil, kedai tersebut penuh. Orang2 pada pesen satu makanan atau minuman doang tapi duduknya lama banget sambil merem2 bikin iri… akhirnya dengan sabar kami nunggu tempat kosong. Pasang mata setajam-tajamnya siap2 rebut tempat kosong yg mau ditinggal penghuni sementaranya. Strategi berhasil, kami dapet satu meja dg empat kursi empuk.. lumayan buat istirahat sambil merem2 dikit. Salah satu dari kami pesen makanan biar gak sungkan numpak duduk doang… hahaha
Ngobrol lanjutan trip sambil merem2 gak terasa sudah 2 jam di kedai burger. Rasa sungkan pun hinggap, dan akhirnya kami memutuskan keluar dan nyari tempat lain. Di luar kedai burger banyak banget orang pada selonjoran dan tidur, di sudut2, dan di tikungan2 yg jarang dilewati orang pada full booked semua.. kami bingung mau istirahat dimana lagi.
Akhirnya nemu satu tempat strategis dekat lift yg jarang dipake.. kamipun duduk sambil pasang selimut, maklum walaupun di dalam Hbf dingin tetap merasuk sampai tulang.. #eak. Setelah pewe dan merem beberapa saat, kami pun dikagetkan oleh polisi cewek yg ngomong “NICHT SCHLAFEN!!” alias “GAK BOLEH TIDUR!!”. Kaget campur malu membuat kami langsung menyingkir nyari tempat lain. Kata2 ini bener2 nancep banget di pikiran kami. Tiap kali ingat kata ini kami langsung ngakak gak berhenti2.. wkwkwkwk
Karena gak berhasil mendapat tempat pewe, tempat duduk seadanya tanpa senderan pun kami jadikan tempat menunggu subuh. Sambil saling merapat dan berselimut, kami ketiduran sambil duduk. Berkali-kali liat jam, rasanya lamaaaaa banget subuh. Hahahaha.
Setelah jam menunjukkan pukul 4.00 kami pun mulai beranjak mencari masjid di mbah gugelmep. Masjid terdekat kira2 6-8 Km dari Hbf #pfft. Dingin, capek, ngantuk, agak lapar, pingin pup, jadi satu.. tapi kami tetep “semangat” berjalan ,menuju masjid. 2 jam berjalan di tengah gempuran dingin yang menusuk, melewati semacam area lokalisasi, melewati pertokoan dengan kaca2 nyaris pecah, dan perumahan-perumahan yg bikin bingung akhirnya kami sampai di masjid turki. Alhamdulillah
Kami pun masuk, walau belum masuk waktu subuh, dan langsung menuju toilet bergantian kemudian ambil wudhu. Setelah sholat subuh berjamaah, kami pun ditawari untuk istirahat di lantai atas diberi minum teh hangat nan nikmat. Tapi yg bikin kami agak nggrundel adalah mereka gak pulang2 dari masjid dan terus ngobrol, kami jadi gak bisa tidur karena sungkan.. hahahahaha
Setelah menunggu beberapa lama, para jamaah pun pulang dan masjid ssudah agak sepi. Kami tidak menyia-nyiakan waktu tsb untuk segera tidur… hahahaha. Rasanya nyamaaaaaaaaaan banget, nyaman karena karpetnya empuk dan ruangannya anget.. #jaditerharu.
Foto bagian luar (kanan) dan dalam (kiri) masjid turki yg kami tumpangi buat istirahat.
Setelah tidur beberapa saat, kamipun sarapan dengan memakan bekal yg sengaja kami siapkan sebelum berangkat (maklum backpacker kere). Setelah sarapan, kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan.. #tsaaah
Jalan2 pun dilanjutkan mengunjungi jembatan, dom, kampus ETH Zürich.. dsb kemudian pulang ke Tuebingen buat tidur panjang… hahahahaha
Setelah ditotal jenderal, perorang cuma mengeluarkan 15 Euro buat transport pergi dan pulang Tuebingen-Zürich. Jalan2 dengan budget terbatas emang lebih berkesan daripada yg serba bermewah-mewahan, tapi kalau kebangetan iritnya emang…… (speechless).. hahaha
Beberapa foto hasil jalan2.
Penulis : Arif Luqman (LPDP-Jerman awardee, S3 Eberhard-Karls Universität Tübingen)
Jika impianmu sama dengan impian sahabat-sahabatmu untuk memberikan motivasi dan inspirasi kepada anak negeri untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi, mengapa tidak diwujudkan secara bersama-sama?
– Dedi Rosa Putra Cupu –
Saya tidak ingat kapan ide #nasipadang hadir di antara para awardee LPDP-Jerman, yang saya tau ketika akan berangkat ke Berlin untuk mengikuti acara Muktamar I (Family Gathering), salah seorang sahabat mengingatkan rekan-rekan awardee yang lain untuk membawa kartu pos yang telah diisi dengan kalimat-kalimat sederhana namun penuh makna berupa pesan, semangat, motivasi dan inspirasi kepada anak-anak sekolah di pelosok negeri. Jujur saja, dengan sedikit terpaksa malam sebelum berangkat saya singgah ke kedai terdekat untuk membeli beberapa kartu pos, tapi saya bingung mau menulis apa.
Kalimat motivasi? Saya bukanlah Mario Teguh (Motivator) yang punya koleksi kalimat sakti dalam memberikan motivasi. Menjadi inspirasi? Ahh, saya bukanlah Andrea Hirata (penulis tetralogi Laskar Pelangi) ataupun A. Fuadi (penulis Trilogi Negeri 5 Menara) yang dengan novelnya bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri. Saya kuliah di Jurusan Teknik Mesin yang hari-harinya berteman dengan rumus Matematika, Fisika, Mekanika, Dinamika dan lain-lain. Jadi, bagaimana bisa saya merangkai kata-kata motivasi dan inspirasi? Akhirnya saya berangkat ke Berlin membawa beberapa kartu pos yang masih polos.
Selama Muktamar I berlangsung di Berlin tanggal 21 Desember 2014, banyaknya ide dan rencana program LPDP-Jerman yang harus dibahas, ide sederhana #nasipadang lupa diangkat panitia untuk dibahas lebih lanjut. Malamnya saya diskusi dengan rekan-rekan awardee yang lain, dan seperti halnya saya, rekan-rekan juga bingung mau menulis apa. Kemudian saya diskusikan dengan founder #nasipadang melalui WhatsApp (karena beda hostel) dan disepakati akan dibahas pada pertemuan selanjutnya.
1 Januari 2015, Winterberg (Jerman)
Salju yang belum turun di beberapa kota di Jerman dan keinginan yang kuat untuk melihat salju dan bermain ski menginisiasi kami untuk mengisi liburan musim dingin bersama-sama di Winterberg (Jerman). Pada pertemuan ini saya berkesempatan berdiskusi langsung dengan founder #nasipadang, secara singkat dijelaskan bagaimana konsep #nasipadang yang akan dikerjakan. Pada intinya adalah kita memfasilitasi rekan-rekan yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri untuk mengirimkan kartu pos kepada sekolah-sekolah di pelosok nusantara. Untuk tahap awal, kartu pos akan dikirimkan kepada guru dan guru tersebut membacakannya di depan kelas serta memasang kartu pos tersebut di mading-mading sekolah. Selanjutnya kita harapkan kartu pos bisa dikirimkan kepada masing-masing murid sehingga bisa disimpan dan dibaca sebagai motivasi untuk tidak menyerah dalam menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Tiba-tiba saya ingat “kicauan” A. Fuadi melalui akun twitternya, salah satu hal yang memotivasi dia untuk mendapatkan beasiswa sekolah keluar negeri adalah pak Uwo dan pak Etek (paman)nya yang sekolah di luar negeri sering mengirimkan surat yang berisi kalimat “sakti” dan foto-foto mereka sedang di luar negeri kepada A. Fuadi. Saat itu A. Fuadi masih duduk di bangku sekolah. Surat-surat inilah yang mengilhami dan menjadi motivasi untuk mendapatkan beasiswa keluar negeri.
Cocok, pas, tepat sekali apa yang disampaikan sahabat saya tentang begitu sederhananya memberikan motivasi bagi anak negeri. Malamnya, dengan semangat empat lima saya mencoba merangkai kata, susah tapi tetap berusaha. Setelah beberapa puluh menit, kartu pos perdana saya telah selesai. Kalimatnya masih kaku, tapi tak apa, yang penting pesannya sampai ke murid-murid (semoga).
Beberapa minggu kemudian, saya dapat pesan dari sahabat bahwa kartu pos yang saya kirimkan tempo hari telah sampai ke sekolah tujuan. Sahabat juga mengirimkan pesan sederhana dari sang Guru, berikut isi pesan tersebut:
Senang? Bahagia? Pasti. Ternyata tidak harus menjadi seorang Mario Teguh untuk memberikan motivasi kepada anak-anak sekolah. Dan tidak butuh ratusan halaman dalam sebuah novel seperti halnya novel Laskar Pelangi ataupun Negeri 5 Menara untuk memberikan inspirasi bagi anak negeri melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Cukup satu lembar kartu pos. Yup, hanya dengan satu lembar kartu pos, kita bisa berbagi motivasi dan inspirasi bagi anak-anak sekolah di pelosok negeri. Terima kasih rekan-rekan LPDP-Jerman awardee atas ide #nasipadangnya, semoga bisa bermanfaat untuk negeri kita Indonesia.
Jadi, kepada rekan-rekan saya yang sedang berada di luar negeri (kuliah ataupun kerja) dan berminat untuk memberikan motivasi dan inspirasi bagi anak-anak sekolah di seluruh nusantara, dan kepada rekan-rekan saya yang berprofesi sebagai guru di Indonesia dan ingin menerima kartu pos dan membacakan kepada murid-murid untuk memotivasi mereka, silahkan kirimkan email kepada : mynasipadang@gmail.com atau melalui Facebook Nasipadang LPDP-Jerman.
Mari berbagi inspirasi.
Salam #nasipadang (meNAnam inspiraSI PAda generasi menDAtaNG).
Saya adalah salah satu penikmat musik klasik, terutama ketika sedang belajar. Musik klasik yang melantun indah di telinga membuat semangat belajar terpacu, meningkatkan konsentrasi, dan as a stress relief. Fakta ini membuat saya semakin tergila-gila pada musik klasik. Awal bulan maret lalu seorang teman yang sedang suntuk “nesis” mengajak saya untuk “rebound” dari kehidupan akademik. Salah satu mimpi saya yang telah lama terpendam adalah nonton orchestra secara live, mimpi yang belum pernah terwujud karena tidak menemukan teman untuk menonton, momen ajakan rebound tersebut saya sambut dengan gembira, kontan saya tawarkan untuk menonton orchestra, dan Alhamdulillah beliau menerima tawaran tersebut.
Teman saya kemudian teringat akan werbung tentang Göttinger Symphonie Orchester yang dilihatnya di Rathaus beberapa hari lalu dan segera mengecek websitenya. Kabar gembira bagi kami karena pertunjukan diadakan hampir setiap weekend. Kami kemudian memutuskan untuk nonton pada tanggal 20 maret, tapi bagaimana cara beli tiketnya dan bagaimana kita tahu bahwa tiketnya masih tersedia? Kami memilih untuk menelepon customer service agar mendapat jawaban yang cepat dan akurat. Alhamdulillah tiket masih tersedia dan harga untuk student hanya 9.5 €. Kabar gembira berlanjut, kami menemukan cara untuk mendapatkan tiket dengan harga yang jauh lebih murah yaitu 1 €. Caranya? Kami cukup datang ke loket penjualan tiket 1 jam sebelum pertunjukan dimulai, dan tiket masuk seharga 1 € menjadi milik kami.
Singkat cerita, kami mendapatkan tiket tersebut dan mendapat “seat” di bagian depan, sungguh rezeki yang berlimpah, Alhamdulillah, padahal sisa seat di bagian depan hanya ada 5. Tiba di bagian luar studio pertunjukan, terlihat telah banyak penonton yang berdatangan. Sepertinya mind set penikmat musik klasik adalah orang yang umurnya sudah klasik juga, karena terbukti dari 90% penontonnya adalah Oma dan Opa. Hehe.. Pertunjukan berlangsung selama 1 jam 45 menit, terdapat jeda 15 menit diantaranya. Pertunjukan selesai, kami pulang dengan mengayuh sepeda dan larut bersama suasana malam Göttingen yang sudah sepi. Musik klasik di orchestra tadi masih terasa mengalun dengan damai di telinga, alangkah bahagianya kami.
Berikut adalah beberapa tips ketika ingin nonton orchestra:
Buka website event organizernya dan cek apakah jenis musik yang akan dipertunjukkan sesuai dengan minat anda, misalnya Anda penikmat musik dari Bach tapi ternyata yang dipertunjukkan adalah musik dari Mozart, itu akan membuat Anda kecewa dan tidak menikmati pertunjukan.
Setelah mengetahui jenis konser yang akan ditonton, segera kontak customer service untuk bertanya bagaimana cara agar mendapatkan tiket yang “paling” murah walaupun harga untuk student sudah tergolong sangat murah.
Berpakaianlah yang rapi pada saat nonton konser. Anda akan merasa saltum jika memakai kaos oblong dan jeans karena normally yang seharusnya dikenakan adalah gaun semi formal bagi wanita dan kemeja atau jas bagi pria.
Jika pertunjukan diadakan pada malam hari, makanlah dari rumah sehingga Anda tidak akan kelaparan pada saat pertunjukan, atau Anda boleh juga beli makanan dan minuman di gedung pertunjukan.
Jika ingin mendokumentasikan pertunjukan, carilah cara agar tidak ketahuan saat mengambil gambar karena hal tersebut dilarang. Jika ketahuan, mungkin salah satu alasan yang dapat menyelamatkan Anda adalah, Anda ingin menunjukkan kepada keluarga di Indonesia bagaimana keindahan konser orchestra yang dimainkan di Eropa.
Bagi Anda penggemar musik klasik dan bermimpi untuk nonton orchestra secara live di Eropa, semoga suatu saat bisa terwujud. Aamiin 🙂
Penulis : Farizah Dhaifina Amran (LPDP-Jerman Awardee, S2 Georg-August Universität Göttingen)
Beberapa hari yang lalu, seorang kawan yang juga mahasiswa dari Australia mengontak saya dan mengajak berdiskusi mengenai biaya hidup di Jerman. Konon dia tertarik untuk membandingkan tingkat pengeluaran seorang mahasiswa di Australia dan di Jerman. Entahlah…kalau saya lihat sekilas dan dengan apa yang saya alami, biaya hidup di Jerman lebih murah dibandingkan dengan di Australia secara umum, namun kalau bicara gaji, maka Australia relatif lebih tinggi. Coba saja bandingkan dengan menggunakan link http://www.numbeo.com/cost-of-living/.
Saya pun tertarik untuk membedah berapakah biaya yang harus saya keluarkan selama sebulan untuk sebuah keluarga dengan 2 orang anak di kota Bremen, Jerman. Berikut rinciannya :
Internet (tahun lalu cuma 19 EUR, tahun ke-2 kontrak naik) = 25 EUR
Iuran ARD, semacam iuran TVRI jaman dulu di Indonesia = 18 EUR
Biaya administrasi bank (ini utk usia >30 thn tidak gratis) = 5 EUR
Biaya kas Kindergarten anak = 5 EUR
Biaya kegiatan ekstrakurikuler sore hari utk 2 anak = 25 EUR
Biaya kas saya di komunitas = 20 EUR
Sehingga kalau di total jenderal berjumlah 925 EUR tiap bulan sebagai pengeluaran rutin yang tidak bisa diutak-atik. Biaya tersebut BELUM termasuk biaya MAKAN, transport, jajan dan jalan-jalan. Biaya-biaya terakhir ini sangat tergantung kepada gaya hidup masing-masing orang. Besarkah biaya hidup keseluruhannya? mahalkah biaya hidup di Bremen, Jerman ini? tergantung juga sih seberapa besar gaji yang kita terima 😀
“The most important thing is to try and inspire people so that they can be great in whatever they want to do.” -Kobe Bryant-
Ide itu bisa muncul kapan saja, inspirasi bisa terjadi dimana saja. Begitupun dengan nasipadang, sebuah gerakan untuk menginspirasi anak-anak Indonesia melalui pengiriman kartu pos dari luar negeri. Obrolan seru sesama awardee LPDP-Jerman di WhatsApp group telah membawa kami untuk memodifikasi pengiriman kartu pos dari luar negeri untuk memberikan motivasi serta inspirasi bagi anak-anak Indonesia.
Kenapa harus kartu pos? Alat komunikasi ini telah ada sejak abad ke-18 di Eropa dan biasanya memiliki gambar yang unik di setiap daerah dimana kartu pos itu diterbitkan. Dan itu sangat unik menurut kami. Sepanjang ada kantor pos di suatu daerah, maka sudah dapat dipastikan ada kartu pos yang berasal dari daerah tersebut, paling tidak ibukota daerah tersebut. Kami membayangkan bahwa para awardee LPDP itu sangat banyak di dunia, yang ada di Jerman saja pun tidak bisa dikatakan sedikit, dan berada di kota-kota yang berbeda. Keragaman inilah yang bisa kita tularkan kepada anak-anak Indonesia dengan dibubuhi oleh kata-kata inspirasi dan semangat serta motivasi bagi mereka untuk dapat terus bersekolah mencapai cita-cita yang mereka inginkan.
Ke depannya, kami ingin terus memperbaiki sistem nasipadang ini agar lebih baik lagi dan bisa lebih banyak mengajak para mahasiswa Indonesia yang sedang studi di luar negeri untuk menjadi relawan nasipadang ini. Perlahan namun pasti, semangat kami tidak pernah luntur. Beberapa feedback dari penerima kartu pos yang sudah dikirimkan pun menjadi pemacu semangat kami untuk terus mengajak Anda berbagi inspitasi dari hal yang kecil ini.
Penulis : M. Yusuf Awaluddin (LPDP-Jerman Awardee, S3 University of Bremen)